Sekilas tidak ada yang unik dari Desa Taraweang, salah satu desa di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Namun, di Desa inilah pernah lahir seorang tokoh yang sangat disegani dan dipercaya sebagai pimpinan adat, khususnya komunitas adat Bissu di Kabupaten Pangkep, almarhum Puang Toa Saidi.
Komunitas Bissu di Pangkep
dipercaya sebagai komunitas adat yang hingga kini mempertahankan tradisi
masyarakat suku Bugis dari sejak zaman kerajaan. Kepercayaan yang dimiliki
komunitas Bissu adalah juga kepercayaan yang umumnya dimiliki masyarakat suku Bugis.
Komunitas Bissu hadir sebagai penjaga tradisi tersebut, sekaligus pelaksana
ritual-ritual yang kini sudah jarang dilakukan.
Entah kapan dimulainya, namun,
tempo dulu ritual mappadendang dan mappalili, serta ritual-ritual lain ketika
ada nadzar atau hajatan sering dilakukan oleh masyarakat Desa Taraweang. Namun
kini, ritual-ritual seperti ini hanya dipusatkan di kecamatan-kecamatan yang
ada di Pangkep dan di Bola Ajarang (tempat tinggal para Bissu yang terletak di
Kecamatan Segeri).
Tak jauh dari Desa Taraweang
terletak sebuah perusahaan semen terbesar di Indonesia Timur, PT. Semen Tonasa.
Sumbangan Tonasa kepada masyarakat Desa Taraweang pun tak sebatas semen, namun
alokasi dana CSR (corporate sosial responciblity), PKBL (program kemitraan bina
lingkungan), hingga debu, gemuruh suara bom, dan pencemaran lingkungan. Sehingga
tak jarang masyarakat Desa Taraweang melakukan hearing, dialog, hingga aksi,
menuntut ganti rugi atas pencemaran yang mereka terima dari aktifitas tambang
Tonasa.
Hal ini menyebabkan suka duka
dirasakan masyarakat Desa Taraweang. Disatu sisi Tonasa membawa kemajuan dalam
berbagai hal, disisi lain masyarakat menghadapi masalah yang tak pernah pudar.
Persoalan debu sebenarnya telah dipersoalkan sejak keberadaan Tonasa, namun
hingga hari ini persoalan itu tak pernah tuntas. Bahkan, Pemda pun terkesan
tidak sanggup memberikan solusi. Hal ini terbukti dimana CSR dan PKBL yang
diberikan Tonasa pada masyarakat sekitar tambang seringkali tidak menyentuh
persoalan utama masyarakat.
Desa Taraweang terletak sekitar
10 kilo meter di sebelah utara ibu Kota Pangkajene. Desa yang memiliki luas
9,91 km persegi ini dulunya adalah sebuah gallarang
dengan nama Taraweang Roman. Namun sejak tahun 70-an khususnya di masa orde
baru, Taraweang Roman kemudian ditetapkan sebagai Desa dengan nama Desa
Taraweang. Taraweang sendiri menurut beberapa sumber diartikan sebagai taraweh, sedangkan roman sendiri berarti
semak. Sebagaimana penuturan Kepala Desa
Taraweang, Abd. Majid Rammang.
Kepergian Bissu Saidi
meninggalkan banyak kecemasan, selain persoalan kharismatiknya menjaga tradisi
suku Bugis, Bissu Saidi juga menjaga siklus kehidupan dari pesan-pesan
kehidupan yang selalu diberikannya. Salah satu pesan kehidupan yang pernah
disampaikan Bissu Saidi, ketika alam tidak lagi dikelola dengan arif, penuh
keserakahan, dan penguasa (pemerintah) tidak lagi memperhatikan masyarakat
kecil/lokal, maka tunggu saja bencananya.
Melihat aktifitas Tonasa dan
perusahaan-perusahaan tambang yang ada di Pangkep, pesan Bissu Saidi penting
untuk dijadikan acuan. Sehingga pengelolaan sumber daya alam yang ada di
Pangkep tidak hanya mengambil apa yang telah disediakan alam untuk manusia, namun
menjaganya supaya dapat terus bermanfaat dan tidak justru menjadi bencana bagi
mahluk hidup khususnya yang ada disekitar lokasi tambang.