Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Saturday, December 22, 2012

Krisis Air di Tengah Hamparan Hutan Lindung dan Karst


Siapa yang tidak mengenal air? Jawabannya tentu tidak ada. Dari sejak kita lahir sampai nanti kita mati, air menjadi bagian tak terpisahkan. Air juga adalah konsumsi sehari-hari. Selain untuk diminum, air juga digunakan untuk memasak, mandi, mencuci, dan seterusnya. Bisa dikatakan, hampir semua hal yang dilakukan manusia berhubungan dengan air.
Namun pernahkah kita mengalami kekurangan air? Merasakan sulitnya mendapatkan air untuk konsumsi sehari-hari? Hal tersebut dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Pangkep. Ironisnya itu terjadi ditengah-tengah hamparan hutan lindung dan karst yang membentang di salah satu daerah kaya akan sumber daya alam ini.
$$$
Bagi sebagian besar masyarakat Pangkep, kekurangan air menjadi rutinitas tahunan. Bila musim kemarau tiba masyarakat lalu lalang membawa jirigen atau ember untuk mengangkat air. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih biasanya masyarakat mengambil dari tempat penampungan air bantuan pemerintah maupun swadaya.
Di beberapa tempat di Pangkep, persoalan air berbeda-beda tingkat kesulitannya. Untuk keperluan mencuci biasanya masyarakat mengambil dari sumur-sumur yang tidak kering, itupun hanya beberapa sumur saja dalam satu kampung. Di Desa Bontomanai Kecamatan Labakkang misalnya, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih, karena walaupun dapat menggali sumur, namun airnya asin, bahkan bercampur dengan kerak. Sebagaimana diungkapkan Kepala Desa Bontomanai, Andi Pallawa Ruka, “Airnya asin, masyarakat hanya mengandalkan air bantuan yang diberikan pemerintah maupun lembaga seperti PNPM. Karena tidak ada pilihan lain, airnya asin, tidak dapat dikonsumsi. Makanya jangan cari jamban disini.” Ungkapnya saat dialog dengan peserta sekolah demokrasi Pangkep beberapa waktu yang lalu.
Di sebagian kecamatan Pangkajene, seperti kelurahan Sibatua, tidak jauh berbeda dengan Bontomanai, airnya juga asin. Kalaupun ada sumur, masyarakat menggunakannya untuk keperluan mencuci dan keperluan lain yang tidak berhubungan dengan minum. Seperti diungkapkan Ade, seorang Ibu rumah tangga di kelurahan Sibatua, “Saya mengambil air dari sumur yang ada di MTs MDIA karena sumur di samping rumah tidak ada lagi airnya. Saat musim kemarau seperti sekarang ini banyak sumur kering.” Ungkapnya. Adepun menambahkan, “kalo untuk keperluan minum kami beli, ada air bantuan pemerintah namun jumlahnya terbatas. Sedangkan air sumur tidak dapat diminum karena asin”, tambahnya.

Tuesday, July 17, 2012

PENYELEMAT ITU BERNAMA SANRO PAMMANA



“Di zaman modern yang kian mengagungkan akal, dan di tengah-tengah program kesehatan gratis yang digalakkan pemerintah, masyarakat Pulau Karanrang Kab. Pangkep lebih memilih seorang dukun anak dibanding tenaga medis apabila sedang melahirkan. Disamping karena kepercayaan akan mahluk gaib, ada juga soal pelayanan yang maksimal.”

Minimnya pelayanan kesehatan yang banyak terjadi di daerah kepulauan tidak lantas membuat masyarakat tidak dapat hidup sehat, atau melahirkan anak-anak mereka dengan lancar. Sebagaimana di pulau Karanrang, terdapat banyak Sanro Pammana yang justru dipercaya masyarakat untuk membantu proses melahirkan hingga perawatan setelah melahirkan.
Sanro Pammana atau dukun beranak seperti dewa penolong bagi masyarakat di pulau Karanrang. Sanrolah yang membantu ratusan ibu melahirkan dan menyelamatkan bayi yang baru lahir di satu dari 115 lebih pulau di Kab. Pangkep tersebut. Rohani, 25 Tahun, adalah satu dari Ibu di pulau karanrang yang menggunakan jasa sanro saat melahirkan anak pertamanya.
Keberadaannya yang cukup banyak juga mempermudah masyarakat untuk berinteraksi. Bahkan, masyarakat tidak perlu repot-repot ke Pustu atau Puskesmas, cukup di rumah, Sanrolah yang datang ke rumah-rumah ibu yang akan melahirkan. Selain itu, Sanro lebih lengkap, lengkap dengan “Pattui-pattuina” (Doa), ungkap Yuhar seorang Tokoh Pemuda dari Pulau Karanrang. "Soal melahirkan masyarakat lebih memilih Sanro dibanding Bidan, bahkan perbandingannya bisa mencapai 7 banding 3, Karena kebanyakan masyarakat masih percaya bahwa saat ada yang melahirkan ada mahluk pemangsa bayi berkeliaran (parakang), dan hanya Sanro yang faham soal itu”, tambah Yuhar.
Hal lain yang mempengaruhi masyarakat sehingga lebih memilih Sanro pammana adalah soal tariff, apabila dibantu seorang Bidan yang dilakukan di rumah, satu kali melahirkan bisa sampai 500-700 ribu. Sedangkan Sanro tidak memasang tariff, dia ihlas dengan pemberian seorang. Menurut aktifis LSM Pangkep, Ibnu Hajar, hal tersebut wajar saja, “yang menyebabkan masyarakat memilih dilayani di rumah dibanding ke puskesmas atau pustu yang ada khususnya di pulau, adalah soal sarana dan prasarana yang kurang memadai”, ungkap Ibnu yang juga alumni Sekolah Demokrasi Pangkep ini.
Seorang Sanro biasanya menerima upah sekitar 50-300 ribu per satu kali membantu ibu melahirkan. Namun begitu, Sanro juga melihat kondisi ekonomi keluarga yang sedang dibantunya. Apabila keluarga yang sedang dibantunya kekurangan secara ekonomi maka seorang Sanro pammana biasanya menerima upah tidak sampai seratus ribu. “kalau yang dibantu kekurangan, kadang juga 50 ribu”, Ungkap Batari salah seorang Sanro Pammana di Pulau Karanrang. Namun begitu ada tarif khusus bagi anak pertama, mengingat kesulitan yang dihadapi dibanding anak kedua dan seterusnya. “kalau anak pertama biasanya 250 atau 300 ribu, karena agak susah” tambah Batari.
Begitupun soal waktu, dalam satu kali membantu orang melahirkan seorang Sanro pammana biasanya merawat bayi dan ibunya selama 7-13 hari. Dibagi untuk merawat Ibu dan bayi. Perawatan untuk ibu biasanya selama 3 hari, dan sang bayi sampai ritual “ assalama’ ” atau turun mandi, berkisar antara 7-10 hari. Dalam rentan waktu itu, Sanro memijat dan melihat perkembangan Ibu dan bayinya, bahkan tidak jarang seorang Sanro pammana harus menginap di rumah orang yang dibantunya.

Privatisasi dan Keterbukaan Informasi Publik di Pangkep



Terjawab sudah gerakan aktivis dan kelompok penekan sejak beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, ramai-ramai menolak kebijakan pemerintah untuk membuka lebar masuknya pemodal maupun investor yang ingin menguasai sumber kebutuhan dasar rakyat di tanah air. Bahwa, apa yang selama ini kita nikmati sebagai milik bersama, dapat dengan mudah beralih menjadi milik kelompok-kelompok kecil pemilik capital.
Gerakan menolak privatisasi kebutuhan dasar manusia sejatinya masih berlangsung hingga sekarang. Namun, bagi sebagian orang, privatisasi bukanlah hal baru, bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari. Tarolah seperti privatisasi sumber daya alam, tanpa pengembalian yang dinamis khususnya bagi keberlangsungan pendidikan dan kesehatan masyarakat sekitar tambang.
Sebagaimana diketahui, sejak diberlakukannya aturan terkait dengan otonomi daerah, setiap daerah diberi keleluasaan untuk memajukan daerahnya sendiri. Investor yang hendak masuk ke daerah tertentu, dapat langsung berhubungan dengan Pemda setempat tanpa harus melobi ke pusat. Hal-hal yang berkaitan dengan pusat terkecuali beberapa hal yang memang masih satu aturan. Salah satu contohnya adalah Hutan, karena aturan tentang kehutanan yang memang masih satu payung. Misalnya ketika area yang akan dieksploitasi adalah kawasan hutan lindung, maka harus mendapat izin dari Menteri Kehutanan dalam bentuk “izin pinjam pakai”.

“Mahalnya” Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis bagi Masyarakat Kepulauan



Pulau dan masalah-masalahnya selalu menarik dibincangkan. Tak terkecuali di Kab. Pangkep, masalah yang dihadapi masyarakat kepulauan di Pangkep kian tak berujung. Menyusul statemen yang disampaikan Staff Ahli Bupati Pangkep, Alwi Fatahillah, beberapa waktu lalu dalam Inclass Sekolah Demokrasi Pangkep Angkatan III. Beliau mengatakan, “sudah banyak pakar dilibatkan, pakar ekonomi makro, pakar koperasi, dan sebagainya, namun selalu gagal membangun konsep untuk memajukan masyarakat kepulauan.”
Dari data di Dinas Perikanan dan Kelautan Pangkep, pulau yang membentang di perairan Kabupaten Pangkep sekitar 118 pulau. 87 diantaranya dihuni oleh warga Pangkep. Terdiri dari empat kecamatan, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kecamatan Liukang Kalmas, dan Kecamatan Liukang Tangaya.
Jumlah Penduduk yang tinggal di Empat kecamatan pulau tersebut bila dirata-ratakan sekitar 62.000 lebih manusia, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Data tersebut belum ditambah masyarakat atau anak-anak yang belum memiliki KTP (Lihat BPS Pangkep, 2011). Karena luasnya daerah kekuasaan Pangkep tersebut, beberapa pihak sering sekali mengusulkan ke pusat untuk menambah DAU dan DAK yang dialokasikan ke Pangkep, sebagaimana pernah disampaikan oleh A. Benny, salah seorang Anggota DPRD Kab. Pangkep beberapa waktu lalu.

Saturday, May 26, 2012

Pulau Terluar Pangkep




“Pulang setahun sekali, saat bulan puasa, itupun melewati beberapa pulau, NTB, dan Lombok, selama empat hari empat malam, dari Lombok naik perahu sekitar Empat jam, barulah sampai di pulau tempat tinggalnya. Terkadang Dia juga naik perahu kapal yang langsung menuju pulau tersebut, dengan menempuh waktu kurang lebih dua hari satu malam, namun rute kedua ini dilewati dengan naik kapal ukuran sedang milik nelayan.“
“ndak takut ya”, “ndak ji, sudah biasa, karena tidur ji di kerja di Kapal”,  itu ji kadang penumpang perempuan, kalau malam dan besar ombak, kadang menangis juga”.
Kisah di atas adalah satu dari kisah penduduk yang tinggal di Pulau terluar Pangkep. Jamal nama panggilannya. Saat ini Jamal kuliah di salah satu perguruan tinggi di Pangkep. saat di tanya, kenapa tidak kuliah di NTB atau Lombok yang jaraknya tidak sejauh Ibu Kota Pangkep, apalagi tidak sedikit saudara-saudara Jamal yang juga kerja di NTB maupun Lombok, Dia mengatakan, dirinya berkeinginan untuk kerja di Ibu Kota Pangkep setelah selesai kuliah nanti, mengingat KTP yang dia miliki adalah KTP Pangkep.
Kabupaten Pangkep adalah salah satu daerah di Sulsel yang memiliki kawasan yang sangat luas, apalagi daerah pesisirnya. Beberapa pulau yang masuk kawasan Pangkep ada yang berdekatan dengan pulau NTB, Lombok dan juga pulau Kalimantan.

Wednesday, May 23, 2012

Hasan




Rumah ini bukan rumah singgah orang kaya, yang digunakan berlibur atau menghilangkan penat dari kerja yang sehari-harinya dilakukan di kota. Rumah ini dihuni oleh seorang warga, tepatnya di kelurahan Biraeng Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
Lokasi rumah ini berada di lereng salah satu gunung yang banyak terbentang di daratan Kabupaten Pangkep. Karena lokasinya yang berada di dekat gunung, membuat rumah ini asri, sejuk dan membawa kedamaian di hati penghuninya.
Salah seorang penghuni rumah ini adalah Hasan. seorang warga yang tergolong masih muda dan energik. Sehari-hari Hasan menarik bentor (becak motor) demi kebutuhan keluarganya.
Hasan dikenal sebagai seorang yang baik dan suka bergaul. Hasan juga dikenal sebagai warga yang kritis, lantaran seringnya Hasan mengkritisi perilaku tidak demokratis pemerintah di kelurahannya, dari mulai pelayanan terhadap kebutuhan dasar seperti raskin, kesehatan, dan bantuan-bantuan yang masuk ke kelurahan yang dirasakannya tidak transparan.

Friday, April 27, 2012

Kurang Pekanya Wakil Rakyat Terhadap Eksploitasi Sumber Daya Alam di Pangkep


Sudah selayaknya DPRD mewakili kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Karena lembaga ini, sesuai amanat UU No. 27 Tahun 2009, dibentuk untuk menampung perwakilan rakyat dalam upaya mendekatkan masalah rakyat dengan pengambil kebijakan. Selayaknya pula wakil rakyat membuat aturan, mengontrol kebijakan, atau segala hal yang mungkin timpang dan terjadi ditengah-tengah rakyatnya, menyangkut kebutuhan dan masalah yang dihadapi rakyat di daerah dimana wakil rakyat tersebut terpilih.
Wakil rakyat bukanlah barang mati yang duduk diam di kursi empuk, menikmati gaji yang tidak sedikit dari negara yang tak lain adalah hasil keringat rakyatnya. Wakil rakyat selayaknya bersuara ketika terjadi ketimpangan di daerah, wakil rakyat seharusnya berani mengambil langkah ketika rakyat menjerit akibat dari kebijakan yang timpang atau pencemaran akibat kerusakan alam di daerah.

Saturday, April 21, 2012

Wakil Rakyat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pangkep


Demokrasi mengandaikan rakyat memilih wakilnya untuk duduk di kursi parlemen. Wakil rakyat yang terpilih diharapkan mampu menyuarakan dan mewakili suara dan kebutuhan rakyat yang memilihnya. Namun, duduknya orang-orang terpilih sebagai wakil rakyat tersebut, dalam realitasnya tidak begitu efektif untuk menjawab persoalan rakyat. Karena wakil rakyat yang dielu-elukan sebagai representasi rakyat, minimal ditingkat dapilnya, seringkali terjebak pada persoalan-persoalan pribadi dibanding mengedepankan upaya untuk mendorong kesejahteraan bersama.
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seharusnya membuka peluang terjaminnya rakyat dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Mengingat DPRD adalah juga anggota masyarakat yang dipilih langsung oleh masyarakat yang lain yang kemudian duduk sebagai wakil rakyat, dan memiliki kewenangan untuk mengawal setiap kebijakan yang ada.

Rumadi, Pancasila sudah Final


Membincangkan lagi ideologi negara sama saja buang waktu. Pancasila adalah ideologi negara Indonesia yang sudah final. Itulah petikan kata-kata yang disampaikan Rumadi, dari Wahid Institute Jakarta, saat menyampaikan materi dalam Sekolah Demokrasi Pangkep Angkatan Kedua, Sabtu, 21/04/2012, di Pangkep.
Menurut Rumadi, Orang islam pada masa awal kemerdekaan, mereka lebih memilih mengorbankan ego keIslamannya, dan lebih memilih hidup berbangsa, sehingga mereka menerima Pancasila sebagai dasar negara. Namun dalam sejarahnya, bahkan sampai saat ini ada saja kelompok Islam yang ingin mengungkit persoalan ini, dengan mencoba memaksakan Islam untuk dijadikan ideologi negara.
Sedangkan menurut Rumadi juga, menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi justru mendegradasi makna Islam itu sendiri, islam hanya akan menjadi arena politik, untuk merebut dan menduduki kekuasaan saja, bahkan sebagai arena transaksi. Seharusnya Islam menjadi pedoman hidup, menjadi bekal untuk menjalani hidup setelah mati.
Peserta sendiri mengungkapkan kegalauannya melihat kondisi di daerahnya. Bahkan menurut Irwan (salah satu peserta) Pangkep pernah menjadi ujung tombak penegakan syariah Islam di Sulsel. Menurutnya, kelompok KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam), setelah mereka gagal di Bulukumba mereka mencoba untuk menggelindingkan bola panas tersebut ke Kabupaten Pangkep. Bahkan sudah ada dua desa yang sempat menjadi desa percontohan syariah Islam, Desa Tompobulu dan Desa Salemo. Namun, keinginan tersebut jalan ditempat setelah Bupati Pangkep (Alm. H. Syafruddin Nur) yang waktu itu mendukung penegakan syariah Islam di Pangkep meninggal dunia.
Inclass Sekolah Demokrasi Pangkep ini adalah rangkaian kegiatan penyelenggaraan Sekolah Demokrasi yang terlaksana atas kerjasama Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) Jakarta, dan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel.  

Monday, April 16, 2012

DEMOKRASI SEMU


Aturan demi aturan telah di keluarkan untuk mendukung demokratisasi di pusat maupun daerah. Kegiatan demi kegiatan juga telah dilaksanakan sebagai bagian dari proses demokrasi. Bahkan pengawasan terhadap segala praktek dari prosedur demokrasi-pun telah dilaksanakan dengan sangat baik. Namun semua terkesan semu, ketika kita melihat realitas yang terjadi dibalik prosedur demokrasi yang telah berlangsung. Praktek korup, dan penodaan terhadap nilai-nilai demokrasi sesungguhnya selalu hadir disela-sela prosedur demokrasi yang dilakukan, bahkan subtansi demokrasi yang dituju sesungguhnya sangat jauh dari yang diharapkan.

Tuesday, April 10, 2012

Demokrasi Dadakan


Banyaknya pemimpin dan wakil rakyat yang memberikan contoh kurang baik di masyarakat membuat banyak orang mempertanyakan kinerja partai politik sebagai penyaring sosok calon pemimpin. Benarkah kaderisasi yang menjadi tugas partai politik dilaksanakan dengan baik? kalau benar dilaksanakan, kenapa pemimpin yang mewakili kepentingan rakyat seakan lupa terhadap kewajibannya dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya disaat mereka telah menduduki satu jabatan? Pertanyaan-pertanyaan ini seolah tiada henti diungkapkan oleh semua kalangan. Termasuk penulis.
Sekian kali sudah kita melakukan pilkada, memilih wakil rakyat dari mulai pusat hingga daerah, namun seiring itu pula tidak sedikit wakil rakyat yang kemudian lupa, bahwa ada kewajiban yang dia emban di pundaknya.