“Pulang setahun sekali, saat bulan puasa, itupun melewati beberapa pulau, NTB, dan Lombok, selama empat hari empat malam, dari Lombok naik perahu sekitar Empat jam, barulah sampai di pulau tempat tinggalnya. Terkadang Dia juga naik perahu kapal yang langsung menuju pulau tersebut, dengan menempuh waktu kurang lebih dua hari satu malam, namun rute kedua ini dilewati dengan naik kapal ukuran sedang milik nelayan.“
“ndak takut ya”, “ndak ji, sudah
biasa, karena tidur ji di kerja di Kapal”,
itu ji kadang penumpang perempuan, kalau malam dan besar ombak, kadang
menangis juga”.
Kisah di atas adalah satu dari
kisah penduduk yang tinggal di Pulau terluar Pangkep. Jamal nama panggilannya. Saat
ini Jamal kuliah di salah satu perguruan tinggi di Pangkep. saat di tanya,
kenapa tidak kuliah di NTB atau Lombok yang jaraknya tidak sejauh Ibu Kota
Pangkep, apalagi tidak sedikit saudara-saudara Jamal yang juga kerja di NTB
maupun Lombok, Dia mengatakan, dirinya berkeinginan untuk kerja di Ibu Kota Pangkep
setelah selesai kuliah nanti, mengingat KTP yang dia miliki adalah KTP Pangkep.
Kabupaten Pangkep adalah salah
satu daerah di Sulsel yang memiliki kawasan yang sangat luas, apalagi daerah
pesisirnya. Beberapa pulau yang masuk kawasan Pangkep ada yang berdekatan
dengan pulau NTB, Lombok dan juga pulau Kalimantan.
Lain halnya dengan Nasruddin, Dia
hanya menempuh waktu 24 Jam untuk mendarat di pulaunya, Sapuka. Saat
bincang-bincang dengan penulis, Nasruddin mengungkapkan keresahannya,
“seharusnya Pemerintah Pangkep memiliki Perahu Kapal lintas pulau, disamping
berfungsi sebagai kapal penyeberangan penumpang antar pulau khususnya ke Ibu
Kota, Kapal tersebut juga dapat digunakan untuk mengambil hasil tangkapan
nelayan di setiap pulau. Selama ini yang ada adalah kapal-kapal nelayan, yang
daya tampungnya terbatas. Selain itu nelayan tersebut tidak lantas menjual
hasil tangkapannya ke Ibu Kota, karena jaraknya yang cukup jauh dibanding pulau
lain, khususnya bagi pulau-pulau terluar Pangkep.”
Selain itu, nelayan-nelayan pulau
terluar Pangkep seringkali melihat situasi dan kondisi saat akan menjual hasil
tangkapan. Saat di Makassar lagi mahal, maka dia menuju Makassar dan menjual
hasil tangkapannya disana, saat di NTB yang mahal, dia menuju NTB, begitu
seterusnya. Maka jelas, bahwa hasil tangkapan nelayan dari kekayaan sumber daya
alam Pangkep tidak berdampak positif bagi pemasukan Pangkep.
Belum lagi kondisi masyarakat
kepulauan yang seringkali tidak tersentuh kebijakan. Bahkan, pernah suatu hari
Sepupu Jamal harus melahirkan di atas perahu kapal saat hendak menuju Ibu Kota Kecamatan,
jarak antara pulau tempat tinggal Jamal dengan ibu kota kecamatan yang sangat
jauh, ditambah minimnya tenaga perawat maupun bidan di pulau-pulau apatalagi
pulau terluar Pangkep, sehingga kondisi serupa yang dialami Jamal tidak jarang
di dapatkan.
Belum lagi akses informasi, di
Pulau Satanger tempat tinggal Jamal dan pulau Sapuka tempat tinggal Nasruddin tidak
ada jaringan telepon umum maupun genggam. “ketika orang tua atau keluarga mau
menelpon mereka ke NTB”, tutur Jamal beberapa waktu yang lalu.
Jangankan akses telpon, pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat saja sangat minim di dapatkan. Hal tersebut dapat
dilihat dari penghargaan yang diberikan Yusuf Kalla kepada Suster Apung
beberapa tahun lalu. Suster tersebut mengarungi laut dari pulau ke pulau, tak
mengenal malam atau siang, ketika ada kapal yang berangkat menyeberang, dia
ikut ke tempat tujuan, demi masyarakat kepulauan yang membutuhkan bantuan kesehatan.
Kurangnya pelayanan kebutuhan
dasar masyarakat kepulauan juga dapat dilihat dari minimnya pelayanan kesehatan
dan pendidikan. Banyaknya pegawai kesehatan maupun guru yang di tempatkan di
daerah kepulauan yang kemudian pindah dan menetap di kota, semakin memperuncing
masalah yang dihadapi masyarakat pulau. Sebagai perbandingan, “Tiga hari di
pulau, satu bulan di darat” ungkap Jamal.
saya butuh informasi tentang pulau sapuka, bias minta kontaknya ? tabe
ReplyDeletemaaf baru lihat komentarnya Mas. Apa belum terlambat ya.. sekali lagi maaf
ReplyDelete