Banyaknya pemimpin dan
wakil rakyat yang memberikan contoh kurang baik di masyarakat membuat banyak
orang mempertanyakan kinerja partai politik sebagai penyaring sosok calon
pemimpin. Benarkah kaderisasi yang menjadi tugas partai politik dilaksanakan
dengan baik? kalau benar dilaksanakan, kenapa pemimpin yang mewakili
kepentingan rakyat seakan lupa terhadap kewajibannya dan hanya mementingkan
kepentingan pribadinya disaat mereka telah menduduki satu jabatan?
Pertanyaan-pertanyaan ini seolah tiada henti diungkapkan oleh semua kalangan. Termasuk
penulis.
Sekian kali sudah kita
melakukan pilkada, memilih wakil rakyat dari mulai pusat hingga daerah, namun
seiring itu pula tidak sedikit wakil rakyat yang kemudian lupa, bahwa ada
kewajiban yang dia emban di pundaknya.
Bukankah terbentuknya negara
pada mulanya adalah untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat. Menciptakan
kesejahteran ditengah-tengah masyarakat, memberikan pelayanan pada masyarakat
terhadap apa yang mereka butuhkan. Bukan sebaliknya, hanya mengeruk uang rakyat
demi kepentingan pribadi dan golongannya, tanpa ada pengembalian yang berarti
bagi masyarakat.
Upaya untuk membalik
stigma yang sudah terlanjur berkembang sulit dilakukan, sejauh ini yang masih
berlaku adalah Wakil Rakyat adalah seorang yang memiliki power yang selayaknya
dilayani, bukan melayani. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan
sehari-hari, seorang yang ingin memperoleh hak-hak Sipol-nya (Sosial Politik)
haruslah dengan administrasi yang cukup panjang berikut penghormatan yang
sebesar-besarnya pada pejabat yang berwenang. Kalau tidak, jangan harap
mendapatkan pelayanan atau bahkan dilayani dengan layak.
Sering kali pemerintah justru
memberikan rasa tidak aman di masyarakat. Kesejahteraan yang diidam-idamkan masyarakat
dari suara yang dia sumbangkan saat pilkada, pada orang yang kelak mewakilinya berbuah
janji belaka.
Benarkah pemimpin yang
terpilih dan kini duduk sebagai wakil rakyat kita terbentuk dari kultur yang
serba mendadak. Mendadak di lamar, mendadak mencalonkan diri dan mendadak jadi
wakil rakyat, akhirnya kebijakannya pun serba mendadak. Tidak dikoordinasikan
dengan masyarakat, tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat yang
diwakilinya dan pengetahuan yang dia milikipun tidak berperspektif kerakyatan.
Ada kemungkinan fungsi
partai politik sebagai penyedia calon yang tidak jalan. Seleksi calon pemimpin
yang dilakukan bukan semata-mata di dasari atas kepentingan bersama rakyat atau
ideologi partai. Namun, semata hanya mencari tokoh yang mampu mengangkat citra
partai sekaligus memberi dukungan dana ke Partai.
Partai politik selain
memiliki tugas menyediakan dan mengusulkan calon, juga memiliki tugas
memberikan pendidikan politik di masyarakat. namun kondisi di lapangan
mengatakan lain. Memang benar partai politik melakukan kegiatan politik, namun
kegiatan politik yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang menjadi
landasan dibentuknya sistem kepartaian justru menjadi konsumsi masyarakat.
Tidak sedikit
masyarakat yang kemudian apatis dengan pemimpin yang disodorkan partai politik,
mengingat dari calon-calon yang diajukan dan kemudian menjadi pemimpin atau
wakil rakyat, sama sekali tidak memperdulikan kepentingan rakyat. Apatalagi untuk
mendorong kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat yang diwakilinya.
Sebagaimana tertuang
dalam UU No. 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan telah diubah dalam UU
No.02 Tahun 2011, jelas dikatakan bahwa, fungsi partai politik selain merekrut
calon juga memberikan pendidikan politik di masyarakat. Kalau ini tidak menjadi
pehatian kita bersama, maka selama itu pula kita hanya akan mendapatkan
pemimpin yang hanya mengatasnamakan rakyat dan tidak peka terhadap kebutuhan
rakyatnya. ###
mantap, bernas, faktual, paradigmatik,,,ambe muami
ReplyDeletehehe,, aja'na klo untuk wacana demokrasi. kamar bawah boleh...
ReplyDelete