Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Tuesday, August 16, 2011

Catatan dari Perjalanan ke Beberapa Pulau di Pangkep


Waktu menunjukkan pukul 10.00 Wita, beberapa calon penumpang ada yang sudah naik di atas kapal, ada juga yang duduk di halte sambil mengobrol atau menikmati makanan yang banyak dijual di sekitar halte.
Selasa, 19 Juli 2011. Saya bersama salah seorang Peserta Sekolah Demokrasi Pangkep Angkatan Kedua (Arif Alif) telah berada di salah satu lokasi tersibuk di Pangkep. Kami hendak menumpang salah satu kapal perahu yang menuju ke pulau sabutung.
Salah satu tujuan kami adalah untuk menyampaikan surat permohonan kunjungan peserta sekolah demokrasi Pangkep Angkatan kedua. Yaitu untuk berdialog dengan pemerintah desa dan masyarakat di pulau sabutung. Di pulau sabutung sendiri selain terdapat satu desa yang bernama Mattiro Kanja, juga menjadi lokasi Kantor Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara.
Saat di dermaga Pangkajene terbersit dalam fikiran saya untuk menuliskan tentang betapa pentingnya dermaga tersebut bagi masyarakat Pangkep, khususnya yang tinggal di kepulauan. Untuk berdagang, berbelanja, atau sekedar bepergian ke dan dari beberapa kepulauan di Pangkep. Namun tak tau harus memulainya dari mana.
Apabila kita berada di dermaga ini, disana ada sebuah halte, tempat duduk yang digunakan para calon penumpang atau untuk menunggu kapal berangkat atau digunakan oleh para penumpang kapal yang istirahat setelah melakukan perjalanan. Mengingat lokasinya yang sangat dekat dengan pasar pangkajene, sehingga lokasi ini juga sangat ramai, khususnya saat menjelang kedatangan kapal dan keberangkatannya ke pulau.
Saat pagi sekitar pukul pukul tujuh dermaga ini mulai dipadati masyarakat yang datang dari pulau. Sampai siang sekitar pukul 12, yaitu saat kapal-kapal tersebut menyebar menuju beberapa pulau di Pangkep tempat ini masih padat.
Disekitar dermaga ini ada satu pos jaga yang digunakan oleh personel dinas perhubungan. Pos ini berada pas di samping halte. Dalam konsep bernegara selain sebagai tempat nongkrong personel pengambil pajak, pos jaga dan personel yang ada di dalamnya adalah bagian dari fungsi pengawasan dari negara kepada masyarakatnya. Disamping pos adalah beberapa rumah warga, yang disana juga terdapat satu tempat yang menurut teman saya digunakan untuk “menimbun” bahan bakar solar.
Dermaga ini berada di bawah jembatan besar yang masyarakat setempat menyebutnya sebagai jembatan baru, walaupun sudah dibangun beberapa tahun yang lalu. Menghubungkan daerah yang saya sebut “elit” dan daerah yang “merakyat”. Kenapa daerah selatan jembatan saya sebut sebagai daerah elit karena disinilah ditempatkan segala macam pelayanan publik, termasuk di dalamnya di tempati oleh aparatus negara maupun pengambil kebijakan. Di sebelah utara adalah daerah yang memiliki fungsi ganda, disamping sebagai tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai kelas, juga karena dibagian utara tersebut menjadi lokasi pasar sentral Pangkajene.
Kapal-kapal yang sandar di dermaga ini berasal dari berbagai pulau yang ada di Pangkep. Diantaranya adalah pulau Karanrang, pulau Balang Lompo, pulau Sabutung, bahkan seluruh kepulauan yang ada di Pangkep. 
Termasuk kalau kita hendak mencari aparat pemerintahan dari beberapa pulau di Pangkep, cukup dengan jalan-jalan ke dermaga ini. Itulah sebabnya, sebelum menuju pulau sabutung, saya juga sempat bertemu kepala desa Mattiro Kanja, di tempat ini. Walaupun akhirnya kamipun nekat pergi ke pulau sebatung dengan tujuan melakukan observasi awal dan menyampaikan surat resmi pada pemerintah desa setempat.
------
Sekitar pukul 11.00 Wita, kapalpun berangkat dengan beberapa penumpang di dalamnya. Saat penumpang lain duduk dibagian dalam kapal, saya beserta teman saya mengambil tempat di atas yang sedikit panas, menikmati pemandangan disekitar sungai yang bercabang tiga. Itulah kenapa sungai ini disebut sebagai sungai pangkaje, yang artinya adalah sungai yang bercabang.
Sekitar satu jam perjalanan akhirnya kami sampai di pulau sabutung. Salah satu pulau bersejarah, pulau yang menjadi lokasi penyeberan Syariah Islam khususnya di daerah kepulauan di Pangkep. Di pulau ini juga terdapat makam seorang Wali yang tidak asing bagi masyarakat Pangkep, yaitu Puang A Walli yang memiliki nama lengkap Kiai Abd. Rahim. Seorang ulama besar yang pernah tinggal di mekkah, menempa pendidikan agama Islam pada beberapa ulama di Mekkah, kemudian kembali ke Pangkep untuk berdakwah menyebarkan syariah Islam khususnya di daerah kepulauan di Pangkep. Beliau sendiri oleh masyarakat dikenal sebagai seorang Wali yang diberikan karamah oleh Allah, diantaranya dapat melakukan sholat berjamaah di lokasi yang berbeda dalam waktu bersamaan.
Tiba di pulau sabutung kami langsung menuju kantor desa Mattiro Kanja, bertemu dengan Sekretaris Desa yang beberapa hari sebelumnya telah dikonfirmasi tentang kedatangan kami. Kami pun menyampaikan maksud dan tujuan kami dan memberikan selembar surat permohonan.
Ibarat pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Bagaimana tidak, setelah ada kesepakatan dengan pemerintah desa setempat kamipun istirahat di rumah seorang teman (Hasni) yang sebelumnya juga menjemput kedatangan kami. Tak lama berselang kami dijemput oleh Rizal menuju pulau Sabangko dengan menggunakan kapal perahu kecil yang oleh masyarakat setempat biasa disebut jolloro’. Bahkan pada malam harinya kami juga menyempatkan diri ke pulau salemo walaupun hanya sekedar berkunjung ke rumah teman. Mengingat pulau Sabangko dan pulau Salemo lokasinya tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 8 menit menggunakan Jolloro.
-----
Dari perjalanan kami ke beberapa pulau yang berbeda, “pulau Sabutung, Sabangko dan pulau Salemo” ada yang menggelitik dalam fikiran saya, bahwa karakter masyarakat sangat dipengaruhi oleh akses mereka terhadap sumber daya laut.
Berbeda dengan Tiga pulau di atas, pulau Balang Lompo misalnya, masyarakatnya terkesan elit. Di pulau ini kami merasakan suasana berbeda dari cara beradaptasi dengan masyarakat setempat. Mungkin karena masyarakatnya yang bisa dibilang hidup dengan kecukupan. Hal tersebut terlihat dari struktur bangunan rumah dan perahu-perahu yang mereka miliki. Dan mungkin karena pulau Balang Lompo juga adalah ibu kota kecamatan dari kecamatan Liukang Tupabbiring Utara dan Liukang Tupabbiring Selatan.
Masyarakat pulau Balang Lompo tidak sedikit juga yang memiliki perahu pencari ikan dengan menggunakan jaring besar lengkap dengan lampu-lampu sorot atau yang biasa disebut sebagai “pabagang”. Warga yang memiliki pabagang tentu memiliki akses yang sedikit mudah dibanding nelayan yang hanya menggunakan jaring biasa dalam menangkap ikan.
Sebagai kesimpulan kecil, bisa dikatakan bahwa struktur sosial yang menjelma menjadi model dan cara berfikir masyarakat di satu pulau tertentu berkaitan erat dengan status ekonomi dan kemudahan mereka dalam mengakses sumber daya laut.
Inilah catatan kecil yang bisa kami tuliskan, walaupun terkesan tidak jelas mau dibawa kemana, semoga pembaca mendapatkan informasi yang bermaanfaat dari tulisan ini.

5 comments:

  1. apa yang kamu tulis, tidak jauh beda apa yang di katakan oleh Alm bapak saya, dan beliou berdarah Salemo dan Labakang, konon kata Alm bapak saya dia masih ada hubungan famili (paman ) dengan puang wali, terimkasih artikelnya aq suka sekali

    ReplyDelete
  2. apa yang kamu tulis, tidak jauh beda apa yang di katakan oleh Alm bapak saya, dan beliou berdarah Salemo dan Labakang, konon kata Alm bapak saya dia masih ada hubungan famili (paman ) dengan puang wali, terimkasih artikelnya aq suka sekali

    ReplyDelete
  3. Saya tertarik meneliti tentang budaya masyarakat kepulauan pangkep....

    ReplyDelete