Demokrasi
mengandaikan rakyat memilih wakilnya untuk duduk di kursi parlemen. Wakil
rakyat yang terpilih diharapkan mampu menyuarakan dan mewakili suara dan kebutuhan
rakyat yang memilihnya. Namun, duduknya orang-orang terpilih sebagai wakil rakyat
tersebut, dalam realitasnya tidak begitu efektif untuk menjawab persoalan
rakyat. Karena wakil rakyat yang dielu-elukan sebagai representasi rakyat,
minimal ditingkat dapilnya, seringkali terjebak pada persoalan-persoalan
pribadi dibanding mengedepankan upaya untuk mendorong kesejahteraan bersama.
Keberadaan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seharusnya membuka peluang terjaminnya
rakyat dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Mengingat DPRD adalah juga
anggota masyarakat yang dipilih langsung oleh masyarakat yang lain yang
kemudian duduk sebagai wakil rakyat, dan memiliki kewenangan untuk mengawal
setiap kebijakan yang ada.
Selain
bertugas mengontrol, DPRD juga memiliki tugas menginisasi peraturan. Aturan
yang dibutuhkan masyarakat, aturan yang menjawab persoalan yang dihadapi
masyarakat. Semisal dalam konteks pertambangan di Pangkep, adalah aturan
terkait hak dan kewajiban pelaku usaha yang mengeksploitasi sumber daya alam yang
ada di Pangkep, dan untuk mengurangi masalah yang dihadapi masyarakat disekitar
tambang.
Terkadang
fungsi dan tugas DPRD tak berjalan efektif untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Bukan lantaran tidak berjalannya fungsi atau tidak dilaksanakannya tugas sama
sekali, namun karena DPRD kurang memahami apa yang dibutuhkan rakyat, atau
sebaliknya, tau tapi tidak perduli. Seringkali apa yang seharusnya dilaksanakan
tidak dilakukan. Alih-alih menginisiasi aturan yang dibutuhkan, banyak aturan
yang dibahas oleh DPRD justru mubazzir
di lapangan.
Eksploitasi
sumber daya alam di Pangkep sudah berlangsung sejak tahun 60-an. Seiring itu
pula masyarakat merasakan efek langsung maupun tidak langsung dari kerusakan sumber
daya alam yang terjadi di sekitar lingkungan mereka.
Setiap
jalan yang ditempuh pasti memiliki konsekwensi masing-masing. Begitupun
tambang, kerusakan alam yang terjadi akibat operasi perusahaan tambang tentu
saja membawa dampak pada kerusakan alam. Dua hal yang mungkin dapat dikatakan
dari kerusakan alam tersebut, meninggalkan alam yang telah dieksploitasi tersebut
tetap rusak atau merevitalisasi dengan melakukan penghijauan. Peran dan kontrol
dari Wakil rakyat mutlak dibutuhkan untuk mengawal kebijakan di Pangkep.
Pencemaran
langsung yang dirasakan masyarakat adalah bagian dari konsekwensi tersebut.
Disinilah sebetulnya tugas DPRD, salah satunya adalah untuk memberikan rasa
aman dan mengurangi efek langsung maupun tidak langsung yang dirasakan
masyarakat. Cara-nya-pun bisa bermacam-macam, tergantung situasi dan kebutuhan.
DPRD bisa melakukan hearing dan dialog dengan penentu kebijakan di tingkat
perusahaan, atau membuat aturan untuk menekan perusahaan agar lebih
berperspektif kelestarian lingkungan, atau bisa juga dengan meminta pada
pengambil kebijakan untuk tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan
perusahaan.
Di
era otonomi daerah (otoda) seperti sekarang ini, daerah memiliki kewenangan
penuh untuk memajukan daerahnya masing-masing. Tak terkecuali dalam hal
industri pertambangan. Daerah memiliki kewenangan untuk membuat aturan main
yang sedemokratis mungkin untuk menekan pengusaha atau investor yang mengeruk
sumber daya alam di daerah.
Pengelolaan sumber daya alam sebagaimana
pertambangan marmer, memang tidak di larang oleh Undang-undang. Namun, pengelolaan
sumber daya alam yang demokratis, berprespektif ramah lingkungan telah juga di
atur oleh Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Menteri
(PERMEN), upaya menerjemahkannya ke tingkat daerah yang terkesan belum
maksimal. Karena cakupan UU yang bersifat umum, sebagaimana UU No.11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU No.4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, PP No.13 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambangan, PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Pasca Tambang, PP No.22
Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, dan beberapa Permen ESDM dan Keputusan
Menteri lainnya yang mengatur persoalan Tambang yang jumlahnya tidak sedikit. Aturan-aturan
tersebut harus didukung oleh aturan daerah yang menopang kebutuhan masyarakat
di tingkat daerah, mengingat daerah-lah yang mengetahui kebutuhan
masyarakatnya.
Sejauh
ini di Pangkep, aturan untuk mengekang pengusaha agar lebih demokratis dan
memihak rakyat, masih sangat terbatas. Tercatat ada Tiga aturan yang selama ini
menjadi pegangan oleh pengambil kebijakan di Pangkep terkait dengan eksploitasi
sumber daya alam. Perda No.1 Tahun 1998 Tentang Pajak Pengambilan dan
Pengolahan Galian C, yang kemudian diperbaharui dalam Perda No. 05 Tahun 2010
tentang Pajak Daerah. Perda ini mengatur pajak dari instansi atau
perusahaan-perusahaan seperti perusahaan Tambang yang ada di Pangkep, dan
hal-hal terkait termasuk jasa parkir.
Kemudian
Pangkep juga memiliki Perda No.6 Tahun 2010 tentang Pertambangan. Dalam Bab II
perda ini jelas mengatakan bahwa asas dan lingkup pengelolaan tambang adalah
manfaat, adil, transparansi, akuntabilitas, keberlanjutan dan berwawasan
lingkungan. Selanjutnya perda ini juga mengatur kewajiban perusahaan yang telah
memiliki IUP untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang sesuai komitmen yang
tercantum di dalam dokumen AMDAL atau UKL – UPL, dan Pengawasan sepenuhnya
diberikan pada pemerintah daerah yaitu Bupati dan Instansi yang memiliki tugas
dan wewenang terkait usaha pertambangan. Perda ini dalam pelaksanaannya
didukung oleh Peraturan Bupati.
Akhir
tahun 2011 kemarin, sebenarnya Pangkep telah memiliki satu perda tentang Lingkungan
Hidup, namun hingga tulisan ini dimuat, penulis belum dapat mengakses lembaran
perda tersebut karena masih ada di Bagian Hukum Pemda Pangkep (dalam proses pelembaran
daerah).
Bisa dikatakan
Kabupaten Pangkep masuk sebagai salah satu daerah kawasan industri terbesar di
Sulsel. Tercatat ada Empat Puluh Enam (46) perusahaan tambang marmer yang telah
mendapat izin operasi dari Pemda Pangkep.
Data tersebut belum data perusahaan-perusahaan tambang lain, seperti tambang
galian C, Sirtu, Tanah liat, dll. Berikut satu perusahaan BUMN, PT. Tonasa,
yang telah beroperasi sejak tahun 1968 di Pangkep.
Dari 46 perusahan marmer
yang beroperasi tersebut, Lima diantaranya termasuk sebagai perusahaan yang
mengeksploitasi hutan kawasan lindung, sehingga status dari hutan tersebut
dipinjamkan oleh Menteri Kehutanan untuk dieksploitasi. PT. Citatah TBK, PT. Bumi Alam
Permata Indah, PT Karya Asta Alam, Citatah Bunea, dan PT. Anugrah Marmer Jelita,
adalah lima perusahaan tambang di Pangkep yang memiliki izin pinjam terhadap
ekspoloitasi hutan dari Menteri Kehutanan (hasil wawancara
dengan Kadis Kehutanan Pangkep).
Ironisnya,
pengambil kebijakan terkesan takut kehilangan investor dibanding mengusahakan
pola yang baik untuk mengekang kerusakan dan pencemaran dalam upaya mengurangi
persoalan warga disekitar tambang. Saat penulis mewawancarai pihak pertambangan
misalnya, apa yang diungkapkan terkesan ambivalen. Disatu sisi mengatakan
banyak perusahaan yang tidak mematuhi aturan yang ada, disisi lain Pemda
mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan masih bisa
ditolelir, yang artinya tidak perlu dilakukan pencabutan izin. Sedangkan bila
memadukan masukan dari masyarakat di sekitar tambang, justru karena tidak
tegasnya Pemda sehingga banyak perusahaan yang seenaknya saja membuat aturan
mainnya sendiri, tidak melakukan revitalisasi, tidak membayar pajak sebagaimana
mestinya, dan mengabaikan kesehatan dan pendidikan masyarakat sekitar.
mampir ya boss.. nice article.
ReplyDelete