Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Saturday, April 21, 2012

Wakil Rakyat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pangkep


Demokrasi mengandaikan rakyat memilih wakilnya untuk duduk di kursi parlemen. Wakil rakyat yang terpilih diharapkan mampu menyuarakan dan mewakili suara dan kebutuhan rakyat yang memilihnya. Namun, duduknya orang-orang terpilih sebagai wakil rakyat tersebut, dalam realitasnya tidak begitu efektif untuk menjawab persoalan rakyat. Karena wakil rakyat yang dielu-elukan sebagai representasi rakyat, minimal ditingkat dapilnya, seringkali terjebak pada persoalan-persoalan pribadi dibanding mengedepankan upaya untuk mendorong kesejahteraan bersama.
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seharusnya membuka peluang terjaminnya rakyat dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Mengingat DPRD adalah juga anggota masyarakat yang dipilih langsung oleh masyarakat yang lain yang kemudian duduk sebagai wakil rakyat, dan memiliki kewenangan untuk mengawal setiap kebijakan yang ada.
Selain bertugas mengontrol, DPRD juga memiliki tugas menginisasi peraturan. Aturan yang dibutuhkan masyarakat, aturan yang menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Semisal dalam konteks pertambangan di Pangkep, adalah aturan terkait hak dan kewajiban pelaku usaha yang mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Pangkep, dan untuk mengurangi masalah yang dihadapi masyarakat disekitar tambang.
Terkadang fungsi dan tugas DPRD tak berjalan efektif untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Bukan lantaran tidak berjalannya fungsi atau tidak dilaksanakannya tugas sama sekali, namun karena DPRD kurang memahami apa yang dibutuhkan rakyat, atau sebaliknya, tau tapi tidak perduli. Seringkali apa yang seharusnya dilaksanakan tidak dilakukan. Alih-alih menginisiasi aturan yang dibutuhkan, banyak aturan yang dibahas oleh DPRD justru mubazzir di lapangan.
Eksploitasi sumber daya alam di Pangkep sudah berlangsung sejak tahun 60-an. Seiring itu pula masyarakat merasakan efek langsung maupun tidak langsung dari kerusakan sumber daya alam yang terjadi di sekitar lingkungan mereka.
Setiap jalan yang ditempuh pasti memiliki konsekwensi masing-masing. Begitupun tambang, kerusakan alam yang terjadi akibat operasi perusahaan tambang tentu saja membawa dampak pada kerusakan alam. Dua hal yang mungkin dapat dikatakan dari kerusakan alam tersebut, meninggalkan alam yang telah dieksploitasi tersebut tetap rusak atau merevitalisasi dengan melakukan penghijauan. Peran dan kontrol dari Wakil rakyat mutlak dibutuhkan untuk mengawal kebijakan di Pangkep.
Pencemaran langsung yang dirasakan masyarakat adalah bagian dari konsekwensi tersebut. Disinilah sebetulnya tugas DPRD, salah satunya adalah untuk memberikan rasa aman dan mengurangi efek langsung maupun tidak langsung yang dirasakan masyarakat. Cara-nya-pun bisa bermacam-macam, tergantung situasi dan kebutuhan. DPRD bisa melakukan hearing dan dialog dengan penentu kebijakan di tingkat perusahaan, atau membuat aturan untuk menekan perusahaan agar lebih berperspektif kelestarian lingkungan, atau bisa juga dengan meminta pada pengambil kebijakan untuk tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan perusahaan.
Di era otonomi daerah (otoda) seperti sekarang ini, daerah memiliki kewenangan penuh untuk memajukan daerahnya masing-masing. Tak terkecuali dalam hal industri pertambangan. Daerah memiliki kewenangan untuk membuat aturan main yang sedemokratis mungkin untuk menekan pengusaha atau investor yang mengeruk sumber daya alam di daerah.
Pengelolaan sumber daya alam sebagaimana pertambangan marmer, memang tidak di larang oleh Undang-undang. Namun, pengelolaan sumber daya alam yang demokratis, berprespektif ramah lingkungan telah juga di atur oleh Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Menteri (PERMEN), upaya menerjemahkannya ke tingkat daerah yang terkesan belum maksimal. Karena cakupan UU yang bersifat umum, sebagaimana UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, PP No.13 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambangan, PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Pasca Tambang, PP No.22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, dan beberapa Permen ESDM dan Keputusan Menteri lainnya yang mengatur persoalan Tambang yang jumlahnya tidak sedikit. Aturan-aturan tersebut harus didukung oleh aturan daerah yang menopang kebutuhan masyarakat di tingkat daerah, mengingat daerah-lah yang mengetahui kebutuhan masyarakatnya.
Sejauh ini di Pangkep, aturan untuk mengekang pengusaha agar lebih demokratis dan memihak rakyat, masih sangat terbatas. Tercatat ada Tiga aturan yang selama ini menjadi pegangan oleh pengambil kebijakan di Pangkep terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Perda No.1 Tahun 1998 Tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian C, yang kemudian diperbaharui dalam Perda No. 05 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Perda ini mengatur pajak dari instansi atau perusahaan-perusahaan seperti perusahaan Tambang yang ada di Pangkep, dan hal-hal terkait termasuk jasa parkir. 
Kemudian Pangkep juga memiliki Perda No.6 Tahun 2010 tentang Pertambangan. Dalam Bab II perda ini jelas mengatakan bahwa asas dan lingkup pengelolaan tambang adalah manfaat, adil, transparansi, akuntabilitas, keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya perda ini juga mengatur kewajiban perusahaan yang telah memiliki IUP untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang sesuai komitmen yang tercantum di dalam dokumen AMDAL atau UKL – UPL, dan Pengawasan sepenuhnya diberikan pada pemerintah daerah yaitu Bupati dan Instansi yang memiliki tugas dan wewenang terkait usaha pertambangan. Perda ini dalam pelaksanaannya didukung oleh Peraturan Bupati.
Akhir tahun 2011 kemarin, sebenarnya Pangkep telah memiliki satu perda tentang Lingkungan Hidup, namun hingga tulisan ini dimuat, penulis belum dapat mengakses lembaran perda tersebut karena masih ada di Bagian Hukum Pemda Pangkep (dalam proses pelembaran daerah).
Bisa dikatakan Kabupaten Pangkep masuk sebagai salah satu daerah kawasan industri terbesar di Sulsel. Tercatat ada Empat Puluh Enam (46) perusahaan tambang marmer yang telah mendapat izin operasi dari Pemda  Pangkep. Data tersebut belum data perusahaan-perusahaan tambang lain, seperti tambang galian C, Sirtu, Tanah liat, dll. Berikut satu perusahaan BUMN, PT. Tonasa, yang telah beroperasi sejak tahun 1968 di Pangkep.
Dari 46 perusahan marmer yang beroperasi tersebut, Lima diantaranya termasuk sebagai perusahaan yang mengeksploitasi hutan kawasan lindung, sehingga status dari hutan tersebut dipinjamkan oleh Menteri Kehutanan untuk dieksploitasi. PT. Citatah TBK, PT. Bumi Alam Permata Indah, PT Karya Asta Alam, Citatah Bunea, dan PT. Anugrah Marmer Jelita, adalah lima perusahaan tambang di Pangkep yang memiliki izin pinjam terhadap ekspoloitasi hutan dari Menteri Kehutanan (hasil wawancara dengan Kadis Kehutanan Pangkep).
Ironisnya, pengambil kebijakan terkesan takut kehilangan investor dibanding mengusahakan pola yang baik untuk mengekang kerusakan dan pencemaran dalam upaya mengurangi persoalan warga disekitar tambang. Saat penulis mewawancarai pihak pertambangan misalnya, apa yang diungkapkan terkesan ambivalen. Disatu sisi mengatakan banyak perusahaan yang tidak mematuhi aturan yang ada, disisi lain Pemda mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahaan masih bisa ditolelir, yang artinya tidak perlu dilakukan pencabutan izin. Sedangkan bila memadukan masukan dari masyarakat di sekitar tambang, justru karena tidak tegasnya Pemda sehingga banyak perusahaan yang seenaknya saja membuat aturan mainnya sendiri, tidak melakukan revitalisasi, tidak membayar pajak sebagaimana mestinya, dan mengabaikan kesehatan dan pendidikan masyarakat sekitar.

1 comment: