Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Monday, April 16, 2012

DEMOKRASI SEMU


Aturan demi aturan telah di keluarkan untuk mendukung demokratisasi di pusat maupun daerah. Kegiatan demi kegiatan juga telah dilaksanakan sebagai bagian dari proses demokrasi. Bahkan pengawasan terhadap segala praktek dari prosedur demokrasi-pun telah dilaksanakan dengan sangat baik. Namun semua terkesan semu, ketika kita melihat realitas yang terjadi dibalik prosedur demokrasi yang telah berlangsung. Praktek korup, dan penodaan terhadap nilai-nilai demokrasi sesungguhnya selalu hadir disela-sela prosedur demokrasi yang dilakukan, bahkan subtansi demokrasi yang dituju sesungguhnya sangat jauh dari yang diharapkan.
Demikian pula pemimpin dan wakil rakyat sudah banyak yang dihasilkan dari proses demokrasi (melalui pemilihan langsung), namun semua berlalu begitu saja, karena dari wakil rakyat yang terpilih ternyata jauh dari upaya untuk mensejahterakan rakyat yang diwakilinya. Seringkali visi misi yang dijadikan motto saat kampanye dikesampingkan. Pemimpin yang dipilih ternyata lupa daratan, setelah dimanjakan oleh fasilitas lengkap dan canggih, serta gaji dari uang rakyat yang menggiurkan. 
Demokrasi yang dielu-elukan sebagai sistem yang baik untuk menciptakan good governance dan transparansi pemerintahan ternyata masih jalan di tempat. Mengingat banyak dari produk demokrasi sesungguhnya masih jauh dari yang diharapkan.
Bukan salah demokrasi, karena demokrasi dengan konsepnya yang ideal sesungguhnya cukup mampu untuk memperbaiki kesakitan bangsa di negeri ini, dengan catatan demokrasi dilaksanakan dengan baik, dan tidak hanya mendahulukan prosedur belaka tanpa memperdulikan subtansi dari setiap proses.
Abd. Karim (Direktur LAPAR Sulsel) dalam satu artikelnya mengungkapkan; Pemilu memang telah berlangsung, namun pencapaian substansinya sebagai proses demokrasi sulit diukur - Parpol memang bebas bertumbuh di negeri ini, namun kiprahnya cenderung berjarak dengan nilai demokrasi - Pemimpin memang kini dipilih langsung rakyat, namun usai itu rakyat tak tersasar oleh program kesejahteraan sang pemimpin. Lihat www.sekolahdemokrasi-pangkep.org
Peran Parpol
Demokrasi mengandaikan setiap proses dilalui dan dilaksanakan secara demokratis. Prosedur demokrasi dengan subtansinya semestinya berjalan beriringan. Dalam artian, ketika prosedur demokrasi berlangsung, subtansi demokrasi seharusnya juga tercapai. Selama ini yang terjadi tidaklah demikian, prosedur demokrasi berjalan dengan sempurna, seperti pemilu, kebebasan berserikat, dan juga kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Namun dibalik semua itu, pemimpin yang di elu-elukan sebagai produk dari demokrasi yang dipilih melalui pemilihan langsung, ternyata dalam prakteknya jauh dari prinsip demokratis.
Hal itu tak lepas dari peran partai politik (parpol) yang memiliki tugas sebagai penyedia calon pemimpin. Apalagi kalau seleksi calon pemimpinnya hanya mementingkan pamor dari hasil kerja dadakan yang mereka lakukan, dengan melamar seorang tokoh atau orang yang berduit, dibanding berusaha menciptakan kader politik yang nantinya disiapkan dan di dorong menjadi calon. Untuk itu, diperlukan agenda bersama untuk membicarakan kinerja dan fungsi partai politik secara bersama-sama.
Keberadaan partai politik dan pemilu adalah merupakan prosedur demokrasi yang harus dilalui. Namun pengawasan terhadap seleksi partai dalam memilih dan menentukan calonnya tidak dilaksanakan. Hal itu pulalah yang menyebabkan praktek money politik dan intimidasi terhadap pemilih juga kerap kali mengiringi proses pemilu. Terutama oleh pendukung salah satu calon ke pendukung yang lain. Apatalagi bila sengketa pemilu yang sudah kerap kali dipersoalkan tak juga memberikan efek positif bagi keberlangsungan demokrasi.
Susah dibuktikan
Sebagai penyelenggara pemilu diciptakanlah lembaga KPU dan Panwaslu. KPU sebagai lembaga yang bertugas menyaring calon dan menentukan syarat-syaratnya, sekaligus menentukan pemilih dan hak-haknya sesuai aturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan Panwaslu adalah lembaga yang mengawasi pelaksanaan pemilu. Namun, keberadaan lembaga-lembaga ini juga semu, karena tindakan money politik, intimidasi dari pendukung satu ke pendukung yang lain bahkan persoalan surat suara selalu hadir di sela-sela pelaksanaan pemilu.
Kasus sengketa pemilu-pun tidak jarang yang sampai ditingkat Nasional. Masuk di ranah peradilan, bahkan sampai ke tingkat mahkamah konstitusi. Namun, hal itu tak lebih semacam pengaduan belaka. Alih-alih menunjukkan proses yang baik, dengan membawa kecurangan ke ranah hukum, atau intimidasi politik dan money politik ke Mahkamah Konstitusi, namun keputusan berkata lain. Karena biasanya intimidasi dan money politik seperti ini “susah dibuktikan”. Di satu sisi, membawa masalah ke ranah yudikatif tersebut jauh lebih baik, dibanding melakukan tindakan-tindakan yang justru keluar dari ranah hukum, kekerasan atau melakukan anarkisme yang dilakukan secara pribadi maupun kelompok.
Dan lagi, dari sekian proses dan prosedur demokrasi yang dilalui, masyarakat semakin pintar dalam memetakkan mana yang penting dan mana yang tidak, mana yang harus di dahulukan dan mana yang tidak. Ketika seorang kontestan pemilu melakukan tindakan money politik, sang pemilih mengambil keuntungan dan tetap memilih dengan hati nuraninya masing-masing.
Persoalannya adalah, apabila sang pemilih tau bahwa sang kontestan melakukan money politik atau melakukan kecurangan lain dalam pemilu, namun tetap dijadikan pilihan, sama halnya menjerumuskan diri ke lubang keterpurukan. Sebagaimana bahasanya orang tua, kalau dari awal saja sudah menunjukkan i’tikad tidak baik, bagaimana selanjutnya. Buruknya lagi, karena tidak kembali pada diri sendiri secara pribadi, namun semua orang yang ada di daerah tersebut turut serta merasakan imbasnya.
Lalu siapa yang bertugas memberikan pendidikan politik di masyarakat, terkait nasib mereka yang sesungguhnya mereka pertaruhkan pada pemimpin yang mereka pilih sendiri. Sedangkan praktek-praktek kurang baik dari seorang pemimpin mau tidak mau harus mereka konsumsi, karena terlanjur menjadi pengambil kebijakan. 
Menurut Ketua KPU Kab. Pangkep, Rahman Kambi, hal seperti ini hampir disetiap pemilu yang telah di lalui khususnya di Kab. Pangkep selalu terjadi, bahkan bisa jadi bukan hanya di Pangkep. Apabila tidak ada kesadaran dari masing-masing masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, tatanan yang kita idam-idamkan akan sulit terwujud. Rahman Kambi juga menambahkan, di atas (penyelenggara pemilu) dan di bawah (masyarakat) sama-sama sulitnya, di atas tidak bisa kalau hanya kita sendiri yang idealis, karena akan tetap kalah dengan yang banyak, karena demokrasi juga mengandikan suara terbanyak adalah yang menang walau belum tentu benar. Oleh karena itu, “Semuanya kembali ke kesadaran masing-masing orang”, tambahnya.
Sedangkan masyarakat di tingkat bawah seringkali hanya menjadi objek. Ketika sang calon membutuhkan suara, mereka datang dan menjanjikan apa-apa yang dibutuhkan masyarakat, sembari meminta dukungan mereka tersenyum dan merangkul layaknya sahabat sejati yang tak akan ingkar janji. Ketika mereka duduk sebagai wakil rakyat, ternyata kacang lupa akan kulitnya, mereka lupa terhadap program yang dia janjikan, melupakan apa yang dia ucapkan di depan rakyat yang telah menjadikannya pejabat.
Demokrasi dengan konsepnya sungguhlah baik untuk memperbaiki penyakit bangsa. Demokrasi mengandaikan seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat, mewakili suara rakyat, menyuarakan kebutuhan rakyat, dan menjawab persoalan yang dihadapi rakyat, bukan sebaliknya, justru menambah masalah bagi rakyat.

No comments:

Post a Comment