Terjawab sudah gerakan aktivis dan kelompok
penekan sejak beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, ramai-ramai menolak
kebijakan pemerintah untuk membuka lebar masuknya pemodal maupun investor yang
ingin menguasai sumber kebutuhan dasar rakyat di tanah air. Bahwa, apa yang
selama ini kita nikmati sebagai milik bersama, dapat dengan mudah beralih
menjadi milik kelompok-kelompok kecil pemilik capital.
Gerakan menolak privatisasi kebutuhan dasar
manusia sejatinya masih berlangsung hingga sekarang. Namun, bagi sebagian orang,
privatisasi bukanlah hal baru, bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
aktifitas sehari-hari. Tarolah seperti privatisasi sumber daya alam, tanpa
pengembalian yang dinamis khususnya bagi keberlangsungan pendidikan dan
kesehatan masyarakat sekitar tambang.
Sebagaimana diketahui, sejak diberlakukannya
aturan terkait dengan otonomi daerah, setiap daerah diberi keleluasaan untuk
memajukan daerahnya sendiri. Investor yang hendak masuk ke daerah tertentu, dapat
langsung berhubungan dengan Pemda setempat tanpa harus melobi ke pusat. Hal-hal yang berkaitan dengan pusat terkecuali beberapa
hal yang memang masih satu aturan. Salah satu contohnya adalah Hutan, karena aturan
tentang kehutanan yang memang masih satu payung. Misalnya ketika area yang akan
dieksploitasi adalah kawasan hutan lindung, maka harus mendapat izin dari Menteri
Kehutanan dalam bentuk “izin pinjam pakai”.
Disatu sisi, otonomi daerah menciptakan ruang
bagi daerah untuk melakukan aktifitas semau mereka. Dengan memberi keleluasaan
pada Pemda untuk mengambil langkah dan kebijakan sendiri demi memajukan dan
menginisasi perkembangan di daerahnya masing-masing. Disisi lain, pemilihan
kepala daerah secara langsung juga seringkali menyisakan masalah. Salah satu
masalahnya adalah terpilihnya pemimpin yang tidak sesuai dengan orientasi dan
tujuan otonomi daerah. Pemerintah daerah justru seringkali adalah pelaku
ketidak adilan itu sendiri. Sedangkan kelompok penekan yang minim di daerah
seringkali kurang maksimal menjalankan tugasnya. Buktinya, semakin banyak
lahan-lahan sumber kehidupan masyarakat yang kemudian dikuasai oleh investor
asing dan pemodal lokal, dengan pengembalian yang tidak seimbang yang
didapatkan masyarakat sekitar perusahaan.
Privatisasi
SDA
Privatisasi mengancam segala hal menyangkut
kehidupan kita. Seorang rakyat jelata yang hendak mengakses kebutuhan dasar tidaklah
semudah para pemodal capital yang dengan uangnya dapat menciptakan ruang dan mendapatkan
dukungan dari siapa saja termasuk pemerintah daerah. Layaknya hutan yang menyimpan
sumber air dan keanekaragaman hayati, yang sebelumnya dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk mengambil kayu bakar misalnya, atau untuk dikelola menjadi
kebun dengan tanpa merusak ekosistem hutan, kini harus “bertengkar” dengan
pengusaha atau investor yang mendapat dukungan dari pemerintah daerah, sebagaimana
yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Tabo-tabo, Kabupaten Pangkep.
Masyarakat di Desa Tabo-tabo, khususnya yang
tinggal di areal hutan yang baru pada tahun 2003 ditetapkan sebagai kawasan
“hutan lindung” oleh pemerintah, harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan
tempat tinggal, sawah, ladang dan tempat membuat gula merah mereka, yang telah
dikelola bertahun-tahun jauh sebelum BLK yang kini menguasai hutan tersebut
masuk. Dengan di dampingi beberapa lembaga seperti LBH dan Walhi, mereka
berjuang dari daerah hingga pusat. Bahkan, Dua warga Desa Tabo-tabo, Iskandar
dan Tamrin, sempat di tahan selama Enam bulan atas nama “kelestarian hutan
lindung”. “Perjuangan kami sejak tahun 1979, awalnya kami menegur BLK yang
mencoba masuk untuk menanami lahan yang sudah kami garap, namun alasannya BLK,
bahwa itu “sementara”. Sejak saat itu, tepatnya mulai tahun 1982 sampai
sekarang kami melakukan perlawanan yang lebih massif dengan di dampingi oleh beberapa
lembaga”, ungkap Iskandar.
Kondisi yang tidak bersahabat tersebut
diperparah dengan tidak “terbuka”nya Pemerintah Daerah terkait dengan informasi
privatisasi yang berlangsung di Pangkep. Jangankan informasi tentang pemilik
dan pengusaha yang melakukan eksploitasi, informasi terkait dengan hak dan
kewajiban perusahaan-perusahaan privat yang beroperasi tersebut sangat sulit di
akses.
Hal ini dibenarkan oleh aktifis LSM, A.
Badauni, bahwa “sangat sulit kita menemukan data terkait pertambangan privat di
Pangkep. Baik itu yang berkaitan langsung dengan hak dan kewajiban perusahaan,
apalagi hal-hal yang menyangkut produksi dan besaran pendapatan perusahaan,
agar kita juga bisa mengira-ngira bahwa sekian persen atau sekian rupiah
kewajiban yang seharusnya dialokasikan pada masyarakat sekitar tambang”,
ungkapnya.
“Sedangkan jelas, bahwa perusahaan-perusahaan privat
tersebut berkoordinasi langsung dengan Pemda. Mengenai izin usaha, atau
berkaitan dengan hak dan kewajiban perusahaan, semuanya dibawah naungan Dinas Pertambangan
dan Badan Lingkungan Hidup Pangkep,” tambah Badauni.
Bahkan menurut Kepala Bidang AMDAL, Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Pangkep, Budi Rusdi, S.Pi, mengatakan, “sejauh ini,
apabila perusahaan tambang sudah jalan berkoordinasi langsung dengan Dinas
pertambangan dan Energi. Kami di Badan Linkungan Hidup hanya mengkaji apakah
lahan yang dikelola layak di tambang atau tidak, termasuk perjanjian dan komitmen
perusahaan untuk mereklamasi lahan yang telah ditambang agar tidak menjadi
lahan mati, itu dengan kami,” ungkapnya saat ditemui di kantor BLH Pangkep beberapa
waktu yang lalu.
Kalau merujuk pada UU No.14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, selayaknya informasi yang ada di Dinas
Pertambangan dan Badan Lingkungan tersebut juga menjadi konsumsi publik,
khususnya warga disekitar tambang. Sebagaimana dalam Pasal 4 UU ini dijelaskan
bahwa, setiap orang berhak; a. melihat
dan mengetahui Informasi Publik; b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka
untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; c. mendapatkan salinan Informasi
Publik melalui permohonan; dan/ atau d. menyebarluaskan informasi publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. (Terlepas dari beberapa pasal UU ini
yang masih kontroversial bila ditinjau dari perspektif keadilan).
Kabupaten Pangkep adalah salah satu daerah
yang memiliki kekayakan sumber daya alam yang melimpah. Perusahaan tambang yang
mendapat izin usaha dari Dinas Pertambangan setempat sejauh ini sudah 46
perusahaan, Lima diantaranya mengeksploitasi Kawasan Hutan Lindung. Data itupun
berbeda dengan yang diperoleh dari BPS 2011, yang menyebutkan bahwa perusahaan tambang
yang telah mengantongi izin di Pangkep adalah 39 perusahaan.
Perusahaan-perusahaan tambang itu tersebar di Empat kecamatan di Kab. Pangkep.
Praktis, hanya informasi itu yang dapat di akses, walaupun terkesan masih
simpang siur.
Ada indikasi bahwa pemerintah daerah sengaja “menutup-nutupi”
informasi pertambangan yang ada. Asumsinya, tidak banyak masyarakat yang tau berapa
besar pemasukan daerah ‘PAD’ dari sektor pertambangan. Saat Mandat berbincang-bincang dengan
Sekretaris Komisi Anggaran DPRD Kab. Pangkep, Anggraeni Amir, jawabannya pun
samar-samar, Beliau hanya mengatakan “sangat tidak berimbang antara pemasukan dan
kerusakan yang ada akibat pertambangan di Pangkep.” Tidak ada penjelasan rinci
bahwa pemasukan dari sektor pertambangan di Pangkep sekian rupiah. Walaupun
dalam APBD 2011 tertulis bahwa penghasilan dari Pajak Daerah sekitar 42 Milyar
lebih. Namun pajak daerah bukan hanya dari sektor pertambangan, namun
menyangkut objek lain yang juga ada di Pangkep, termasuk hotel, tempat hiburan,
dll.
Sedangkan menurut UU No.14 Tahun 2008 juga
dijelaskan bahwa yang dimaksud informasi publik adalah segala yang menyangkut
urusan publik. Informasi mengenai badan public, informasi mengenai kegiatan dan
kinerja badan public, dan informasi mengenai laporan keuangan, sebagaimana
tertera dalam pasal 9 ayat 2 UU ini.
Sudah selayaknya informasi yang masuk dan
menjadi dokumen Pemda, khususnya Dinas Pertambangan dan Badan Lingkungan Hidup Pangkep
adalah juga informasi yang harus diketehui oleh masyarakat secara umum, tanpa
diminta sekalipun pemerintah seharusnya mensosialisasikan dan meminta saran
dari kondisi yang ada di Pangkep hari ini. Tujuannya tak lain untuk membuka
akses bagi masyarakat untuk turut serta mengawasi dan juga menilai kinerja
perusahaan yang ada di daerah mereka. Agar cita-cita otonomi daerah tidak
disalah gunakan dan terpusat hanya pada sekelompok penguasa di daerah saja.
Sebagaimana diungkapan Abd. Majid Ramang, Ketua Abdesi Kab. Pangkep beberapa
waktu lalu, “tidak boleh ada yang ditutup-tutupi, karena ini era otonomi
daerah” tandasnya. ###
No comments:
Post a Comment