Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Tuesday, July 17, 2012

Privatisasi dan Keterbukaan Informasi Publik di Pangkep



Terjawab sudah gerakan aktivis dan kelompok penekan sejak beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, ramai-ramai menolak kebijakan pemerintah untuk membuka lebar masuknya pemodal maupun investor yang ingin menguasai sumber kebutuhan dasar rakyat di tanah air. Bahwa, apa yang selama ini kita nikmati sebagai milik bersama, dapat dengan mudah beralih menjadi milik kelompok-kelompok kecil pemilik capital.
Gerakan menolak privatisasi kebutuhan dasar manusia sejatinya masih berlangsung hingga sekarang. Namun, bagi sebagian orang, privatisasi bukanlah hal baru, bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari. Tarolah seperti privatisasi sumber daya alam, tanpa pengembalian yang dinamis khususnya bagi keberlangsungan pendidikan dan kesehatan masyarakat sekitar tambang.
Sebagaimana diketahui, sejak diberlakukannya aturan terkait dengan otonomi daerah, setiap daerah diberi keleluasaan untuk memajukan daerahnya sendiri. Investor yang hendak masuk ke daerah tertentu, dapat langsung berhubungan dengan Pemda setempat tanpa harus melobi ke pusat. Hal-hal yang berkaitan dengan pusat terkecuali beberapa hal yang memang masih satu aturan. Salah satu contohnya adalah Hutan, karena aturan tentang kehutanan yang memang masih satu payung. Misalnya ketika area yang akan dieksploitasi adalah kawasan hutan lindung, maka harus mendapat izin dari Menteri Kehutanan dalam bentuk “izin pinjam pakai”.
Disatu sisi, otonomi daerah menciptakan ruang bagi daerah untuk melakukan aktifitas semau mereka. Dengan memberi keleluasaan pada Pemda untuk mengambil langkah dan kebijakan sendiri demi memajukan dan menginisasi perkembangan di daerahnya masing-masing. Disisi lain, pemilihan kepala daerah secara langsung juga seringkali menyisakan masalah. Salah satu masalahnya adalah terpilihnya pemimpin yang tidak sesuai dengan orientasi dan tujuan otonomi daerah. Pemerintah daerah justru seringkali adalah pelaku ketidak adilan itu sendiri. Sedangkan kelompok penekan yang minim di daerah seringkali kurang maksimal menjalankan tugasnya. Buktinya, semakin banyak lahan-lahan sumber kehidupan masyarakat yang kemudian dikuasai oleh investor asing dan pemodal lokal, dengan pengembalian yang tidak seimbang yang didapatkan masyarakat sekitar perusahaan.
Privatisasi SDA
Privatisasi mengancam segala hal menyangkut kehidupan kita. Seorang rakyat jelata yang hendak mengakses kebutuhan dasar tidaklah semudah para pemodal capital yang dengan uangnya dapat menciptakan ruang dan mendapatkan dukungan dari siapa saja termasuk pemerintah daerah. Layaknya hutan yang menyimpan sumber air dan keanekaragaman hayati, yang sebelumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengambil kayu bakar misalnya, atau untuk dikelola menjadi kebun dengan tanpa merusak ekosistem hutan, kini harus “bertengkar” dengan pengusaha atau investor yang mendapat dukungan dari pemerintah daerah, sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Tabo-tabo, Kabupaten Pangkep.
Masyarakat di Desa Tabo-tabo, khususnya yang tinggal di areal hutan yang baru pada tahun 2003 ditetapkan sebagai kawasan “hutan lindung” oleh pemerintah, harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan tempat tinggal, sawah, ladang dan tempat membuat gula merah mereka, yang telah dikelola bertahun-tahun jauh sebelum BLK yang kini menguasai hutan tersebut masuk. Dengan di dampingi beberapa lembaga seperti LBH dan Walhi, mereka berjuang dari daerah hingga pusat. Bahkan, Dua warga Desa Tabo-tabo, Iskandar dan Tamrin, sempat di tahan selama Enam bulan atas nama “kelestarian hutan lindung”. “Perjuangan kami sejak tahun 1979, awalnya kami menegur BLK yang mencoba masuk untuk menanami lahan yang sudah kami garap, namun alasannya BLK, bahwa itu “sementara”. Sejak saat itu, tepatnya mulai tahun 1982 sampai sekarang kami melakukan perlawanan yang lebih massif dengan di dampingi oleh beberapa lembaga”, ungkap Iskandar.
Kondisi yang tidak bersahabat tersebut diperparah dengan tidak “terbuka”nya Pemerintah Daerah terkait dengan informasi privatisasi yang berlangsung di Pangkep. Jangankan informasi tentang pemilik dan pengusaha yang melakukan eksploitasi, informasi terkait dengan hak dan kewajiban perusahaan-perusahaan privat yang beroperasi tersebut sangat sulit di akses.
Hal ini dibenarkan oleh aktifis LSM, A. Badauni, bahwa “sangat sulit kita menemukan data terkait pertambangan privat di Pangkep. Baik itu yang berkaitan langsung dengan hak dan kewajiban perusahaan, apalagi hal-hal yang menyangkut produksi dan besaran pendapatan perusahaan, agar kita juga bisa mengira-ngira bahwa sekian persen atau sekian rupiah kewajiban yang seharusnya dialokasikan pada masyarakat sekitar tambang”, ungkapnya.
“Sedangkan jelas, bahwa perusahaan-perusahaan privat tersebut berkoordinasi langsung dengan Pemda. Mengenai izin usaha, atau berkaitan dengan hak dan kewajiban perusahaan, semuanya dibawah naungan Dinas Pertambangan dan Badan Lingkungan Hidup Pangkep,” tambah Badauni.
Bahkan menurut Kepala Bidang AMDAL, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pangkep, Budi Rusdi, S.Pi, mengatakan, “sejauh ini, apabila perusahaan tambang sudah jalan berkoordinasi langsung dengan Dinas pertambangan dan Energi. Kami di Badan Linkungan Hidup hanya mengkaji apakah lahan yang dikelola layak di tambang atau tidak, termasuk perjanjian dan komitmen perusahaan untuk mereklamasi lahan yang telah ditambang agar tidak menjadi lahan mati, itu dengan kami,” ungkapnya saat ditemui di kantor BLH Pangkep beberapa waktu yang lalu.
Kalau merujuk pada UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, selayaknya informasi yang ada di Dinas Pertambangan dan Badan Lingkungan tersebut juga menjadi konsumsi publik, khususnya warga disekitar tambang. Sebagaimana dalam Pasal 4 UU ini dijelaskan bahwa, setiap orang berhak; a. melihat dan mengetahui Informasi Publik; b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan; dan/ atau d. menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Terlepas dari beberapa pasal UU ini yang masih kontroversial bila ditinjau dari perspektif keadilan).
Kabupaten Pangkep adalah salah satu daerah yang memiliki kekayakan sumber daya alam yang melimpah. Perusahaan tambang yang mendapat izin usaha dari Dinas Pertambangan setempat sejauh ini sudah 46 perusahaan, Lima diantaranya mengeksploitasi Kawasan Hutan Lindung. Data itupun berbeda dengan yang diperoleh dari BPS 2011, yang menyebutkan bahwa perusahaan tambang yang telah mengantongi izin di Pangkep adalah 39 perusahaan. Perusahaan-perusahaan tambang itu tersebar di Empat kecamatan di Kab. Pangkep. Praktis, hanya informasi itu yang dapat di akses, walaupun terkesan masih simpang siur.
Ada indikasi bahwa pemerintah daerah sengaja “menutup-nutupi” informasi pertambangan yang ada. Asumsinya, tidak banyak masyarakat yang tau berapa besar pemasukan daerah ‘PAD’ dari sektor pertambangan. Saat Mandat berbincang-bincang dengan Sekretaris Komisi Anggaran DPRD Kab. Pangkep, Anggraeni Amir, jawabannya pun samar-samar, Beliau hanya mengatakan “sangat tidak berimbang antara pemasukan dan kerusakan yang ada akibat pertambangan di Pangkep.” Tidak ada penjelasan rinci bahwa pemasukan dari sektor pertambangan di Pangkep sekian rupiah. Walaupun dalam APBD 2011 tertulis bahwa penghasilan dari Pajak Daerah sekitar 42 Milyar lebih. Namun pajak daerah bukan hanya dari sektor pertambangan, namun menyangkut objek lain yang juga ada di Pangkep, termasuk hotel, tempat hiburan, dll.
Sedangkan menurut UU No.14 Tahun 2008 juga dijelaskan bahwa yang dimaksud informasi publik adalah segala yang menyangkut urusan publik. Informasi mengenai badan public, informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan public, dan informasi mengenai laporan keuangan, sebagaimana tertera dalam pasal 9 ayat 2 UU ini.
Sudah selayaknya informasi yang masuk dan menjadi dokumen Pemda, khususnya Dinas Pertambangan dan Badan Lingkungan Hidup Pangkep adalah juga informasi yang harus diketehui oleh masyarakat secara umum, tanpa diminta sekalipun pemerintah seharusnya mensosialisasikan dan meminta saran dari kondisi yang ada di Pangkep hari ini. Tujuannya tak lain untuk membuka akses bagi masyarakat untuk turut serta mengawasi dan juga menilai kinerja perusahaan yang ada di daerah mereka. Agar cita-cita otonomi daerah tidak disalah gunakan dan terpusat hanya pada sekelompok penguasa di daerah saja. Sebagaimana diungkapan Abd. Majid Ramang, Ketua Abdesi Kab. Pangkep beberapa waktu lalu, “tidak boleh ada yang ditutup-tutupi, karena ini era otonomi daerah” tandasnya. ###

No comments:

Post a Comment