Siapa yang tidak
mengenal air? Jawabannya tentu tidak ada. Dari sejak kita lahir sampai nanti
kita mati, air menjadi bagian tak terpisahkan. Air juga adalah konsumsi
sehari-hari. Selain untuk diminum, air juga digunakan untuk memasak, mandi,
mencuci, dan seterusnya. Bisa dikatakan, hampir semua hal yang dilakukan
manusia berhubungan dengan air.
Namun pernahkah kita
mengalami kekurangan air? Merasakan sulitnya mendapatkan air untuk konsumsi
sehari-hari? Hal tersebut dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Pangkep.
Ironisnya itu terjadi ditengah-tengah hamparan hutan lindung dan karst yang
membentang di salah satu daerah kaya akan sumber daya alam ini.
$$$
Bagi sebagian besar
masyarakat Pangkep, kekurangan air menjadi rutinitas tahunan. Bila musim
kemarau tiba masyarakat lalu lalang membawa jirigen atau ember untuk mengangkat
air. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih biasanya masyarakat
mengambil dari tempat penampungan air bantuan pemerintah maupun swadaya.
Di beberapa tempat di
Pangkep, persoalan air berbeda-beda tingkat kesulitannya. Untuk keperluan
mencuci biasanya masyarakat mengambil dari sumur-sumur yang tidak kering, itupun
hanya beberapa sumur saja dalam satu kampung. Di Desa Bontomanai Kecamatan Labakkang
misalnya, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih, karena walaupun dapat
menggali sumur, namun airnya asin, bahkan bercampur dengan kerak. Sebagaimana
diungkapkan Kepala Desa Bontomanai, Andi Pallawa Ruka, “Airnya asin, masyarakat
hanya mengandalkan air bantuan yang diberikan pemerintah maupun lembaga seperti
PNPM. Karena tidak ada pilihan lain, airnya asin, tidak dapat dikonsumsi.
Makanya jangan cari jamban disini.” Ungkapnya saat dialog dengan peserta
sekolah demokrasi Pangkep beberapa waktu yang lalu.
Di sebagian kecamatan
Pangkajene, seperti kelurahan Sibatua, tidak jauh berbeda dengan Bontomanai,
airnya juga asin. Kalaupun ada sumur, masyarakat menggunakannya untuk keperluan
mencuci dan keperluan lain yang tidak berhubungan dengan minum. Seperti
diungkapkan Ade, seorang Ibu rumah tangga di kelurahan Sibatua, “Saya mengambil
air dari sumur yang ada di MTs MDIA karena sumur di samping rumah tidak ada lagi
airnya. Saat musim kemarau seperti sekarang ini banyak sumur kering.” Ungkapnya.
Adepun menambahkan, “kalo untuk keperluan minum kami beli, ada air bantuan
pemerintah namun jumlahnya terbatas. Sedangkan air sumur tidak dapat diminum
karena asin”, tambahnya.
Berbeda dengan Dua desa
sebelumnya, Ika warga Taraweang Kecamatan Labakkang, dirinya sudah berusaha
membuat sumur bor namun setelah kedalaman 14 meter mata bor si tukang habis
karena ada batu besar yang sulit ditembus, akhirnya bor tidak dilanjutkan. Mau
tidak mau musim kemarau warga di kampung ini mandi dan mengambil air di sungai,
yang saat musim kemarau tiba debit airnya juga menurun. Untuk keperluan
sehari-hari atau untuk di konsumsi, masyarakat membeli dari warung-warung
terdekat.
Air menjadi persoalan
krusial bagi sebagian besar warga Pangkep, apalagi ketika musim kemarau tiba.
Hal itu menyebabkan tidak sedikit dari sawah-sawah petani di Pangkep hanya bisa
ditanami satu kali dalam satu tahun, atau satu kali panen saja. Karena hanya
mengandalkan air hujan untuk mengairi sawah-sawah mereka. Kalopun ada yang
sampai dua kali penen, sebagian besarnya adalah sawah-sawah yang berada di
dataran rendah.
Sejauh ini warga
Pangkep kebanyakan mengandalkan tanaman padi. Karena untuk menanam tanaman lain
seperti palawija sangat tidak memungkinkan. Ketiadaan air bahkan memaksa
sebagian besar petani bekerja sebagai buruh, baik di perusahaan-perusahaan
industri disekitar kampung, maupun sebagai buruh bangunan, dan meninggalkan
sawah mereka kering tanpa tanaman.
Di tengah kekeringan
dan minimnya ketersediaan air yang dialami masyarakat Pangkep, Anggota DPRD
Pangkep dari Fraksi Demokrat, Anggreani Amir, datang mengunjungi beberapa
kampung di Taraweang yang mengalami kekeringan. Dalam kesempatan tersebut Anggi
berjanji akan membantu sebisa mungkin untuk melindungi petani agar lebih
produktif. Selain berjanji untuk mengusahakan pengadaan mesin dan pipa yang
berfungsi mengairi sawah-sawah warga, Anggi akan berusaha mendorong CSR Tonasa
cepat direalisasikan disana, agar warga dapat menikmati air bersih untuk keperluan
sehari-hari.
Anggi mengungkapkan,
ketiadaan air ini sangat merugikan. Sedangkan disekitar sawah warga ada sungai
terusan dari Desa Tabo-tabo, cuma karena lebih tinggi sawah daripada sungai,
maka air tidak bisa langsung mengalir ke sawah warga. Maka yang diperlukan
adalah mesin penyedot dan pipa, sehingga air dapat dihisap lalu dialirkan ke
sawah warga, tambahnya.
Persoalannya tidak
hanya itu, sungai yang airnya mengalir dari bendungan Tabo-tabo tersebut saat
musim kemarau juga mengalami penurunan volume. Sedangkan secara umum warga
Pangkep mengenal Tabo-tabo sebagai daerah hutan lindung, kawasan karts dan
pegunungan, yang artinya sumber mata air.
Ironis memang, Pangkep yang
kaya akan sumber daya alam, hutan lindung dan pegunungan sangat mudah dijumpai
di Pangkep. Kawasan karst yang dilindungi juga menjadi kekayaan sumber daya
alam yang banyak dijumpai di Pangkep. Seharusnya masyarakat Pangkep tidak
merasakan kekurangan air, apalagi sampai membeli air pada pengecer yang
harganya mencapai delapan puluh ribu per tangki mobil.
Pertanyaan besarnya,
apakah mungkin ketersediaan air di Pangkep berhubungan langsung dengan
banyaknya Industri pertambangan di Pangkep? Mungkin pernyataan aktivis Walhi
yang juga mengadvokasi pengelolaan sumber daya alam di Pangkep dapat menjadi
jawaban. Menurut Aktifis Walhi, Zulkarnain, industri di Pangkep banyak mendiami
kawasan hutan dan pegunungan. Jumlahnya tidak sedikit, puluhan bahkan ratusan.
Hal ini tentu saja berpengaruh pada debit air di Pangkep. Ungkapnya saat
berbincang dengan penulis beberapa waktu yang lalu.
Menurut data dari Dinas
Pertambangan, di Pangkep terdapat puluhan Industri Marmer dan ratusan tambang
Sirtu (pasir dan batu). Di Pangkep juga terdapat PT. Semen Tonasa, perusahaan
BUMN yang berlokasi di Desa Biringere. Bahan baku yang digunakan Tonasa sebagai
perusahaan semen, juga diambil dan digali dari tanah dan gunung-gunung yang ada
di Pangkep.
Ironisnya lagi,
pemerintah daerah tidak melihat perkembangan industri di Pangkep sebagai
lingkaran negatif yang bisa berdampak serius. Bahkan mengancam eksistensi
kehidupan disekitar industri. Hal itu terlihat dari penanganan atau kebijakan yang
dikeluarkan Pemda.
Apa yang dilakukan Pemda
lebih pada imbas yang ditimbulkan, bukan pada subtansi dari persoalan yang ada.
Sebagai contoh, ketika masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih maka
pemerintah mengadakan tempat penampungan air, penampungan ada namun terkadang
tidak berisi air, kalaupun ada itupun dengan volume yang sangat terbatas. Bagi
masyarakat yang tidak puas, dipersilahkan membeli air dari mobil-mobil tangki penyedia
air, yang harganya bisa mencapai Delapan Puluh Ribu per Tangki.
$$$
Musim hujan adalah saat
yang ditunggu-tunggu. Warga dapat memanfaatkan lahan-lahan mereka untuk di
tanami, selain itu warga memanfaatkan air hujan untuk keperluan sehari-hari.
Tak jarang pula air hujan digunakan untuk mandi dan keperluan minum
sehari-hari. Tak heran bila musim hujan disebut sebagai musim penuh berkah,
karena sawah kembali bisa ditanami, wargapun dapat menampung air semau mereka.
Namun dibalik
keberkahan musim hujan tersebut, juga terdapat efek negatif yang dapat
ditimbulkan. Karena musim hujan juga menjadi momok bagi masyarakat Pangkep
secara umum. Sebagaimana yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, masyarakat
Pangkep gusar karena diterjang banjir yang
menenggelamkan ratusan rumah dan juga menelan korban jiwa. PEMDA-pun sibuk
membentuk satgas penanganan banjir, tugasnya lebih banyak menerima dan menyalurkan
bantuan pada korban banjir. Itulah kenapa saya sebut di atas, bahwa penanganan
bukan pada akar permasalahan, namun pada efek yang ditimbulkan. Sedangkan teori
dan pengalaman membuktikan, ketika hutan rusak, dan gunung mulai habis, maka
air tidak akan dapat lagi ditampung, sehingga dengan mudah menerobos rumah-rumah
warga bahkan mengambil nyawa makhluk hidup disekitarnya. Wallahua’lam...
No comments:
Post a Comment