Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Friday, April 27, 2012

Kurang Pekanya Wakil Rakyat Terhadap Eksploitasi Sumber Daya Alam di Pangkep


Sudah selayaknya DPRD mewakili kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Karena lembaga ini, sesuai amanat UU No. 27 Tahun 2009, dibentuk untuk menampung perwakilan rakyat dalam upaya mendekatkan masalah rakyat dengan pengambil kebijakan. Selayaknya pula wakil rakyat membuat aturan, mengontrol kebijakan, atau segala hal yang mungkin timpang dan terjadi ditengah-tengah rakyatnya, menyangkut kebutuhan dan masalah yang dihadapi rakyat di daerah dimana wakil rakyat tersebut terpilih.
Wakil rakyat bukanlah barang mati yang duduk diam di kursi empuk, menikmati gaji yang tidak sedikit dari negara yang tak lain adalah hasil keringat rakyatnya. Wakil rakyat selayaknya bersuara ketika terjadi ketimpangan di daerah, wakil rakyat seharusnya berani mengambil langkah ketika rakyat menjerit akibat dari kebijakan yang timpang atau pencemaran akibat kerusakan alam di daerah.
Di Pangkep, pengelolaan sumber daya alam di dominasi oleh perusahaan tambang batu marmer, tercatat 46 perusahaan marmer yang telah beroperasi di Pangkep hingga Maret tahun 2012. Perusahan tersebut beroperasi di beberapa kecamatan di Pangkep. Selain marmer juga terdapat perusahaan tambang sirtu, batu, dan tanah liat yang sampai saat ini penulis belum mendapatkan data yang jelas terkait yang sudah beroperasi di Pangkep.
Perilaku perusahaan-perusahaan ini harus menjadi perhatian wakil rakyat, karena tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan ini yang tidak melaksanakan kewajibannya terhadap rakyat yang ada di sekitar perusahaan. Apalagi dalam perkembangannya banyak perusahaan yang tidak mematuhi aturan yang ada terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, baik yang ada di pusat maupun yang ada di Pangkep sendiri. Ibarat anak kemarin sore, banyak perusahaan yang berdiri di lokasi-lokasi dekat tempat tinggal penduduk setempat, namun dalam operasinya justru banyak pelanggaran terkait dengan hak-hak penduduk yang telah lama tinggal di daerah tersebut.
Di banyak tempat seperti di Pangkep, khususnya lokasi dimana Perusahaan tambang banyak berdiri sangat berpotensi menjadi lahan konflik. Biasanya rakyat yang sejak lama tinggal di daerah tersebut, merasakan langsung akibat dari eksploitasi yang dilakukan perusahaan, apalagi kalau segi positifnya sangat kurang dirasakan. Sebagaimana di Mesuji Lampung, Timika Papua, dan juga di Mamuju Sulbar, adalah beberapa tempat yang telah menunjukkan bukti bahwa gejolak rakyat terhadap pencemaran yang rakyat terima, dan eksploitasi yang berlebihan dan pembagian yang timpang bisa berbuah pertikaian.
Demokrasi bukanlah konsep ideal yang hanya ada di kantor Bupati dan DPR, atau hanya ada di sekretariat-sekretariat Parpol. Demokrasi seharusnya juga dilaksanakan disetiap institusi dan setiap individu rakyat dalam situasi dan kondisi apapun. Apatalagi dunia usaha yang juga termasuk sebagai salah satu pilar demokrasi. Pelaku usaha harus juga dibekali pengetahuan demokrasi/ pendidikan politik, agar dalam setiap tindakannya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. sejauh ini lembaga ini terpisah oleh jarak dan waktu, pelaku usaha seolah jauh dari nilai-nilai demokrasi, karena apa yang dijalankannya tak lepas dari usahanya untuk mendapatkan keuntungan. Tanpa mempertimbangkan nilai-nilai demokrasi, yang dilakukannya adalah menyuap sana-sini untuk mendapatkan keuntungan lebih. Sedangkan pengambil kebijakan dan wakil rakyat yang duduk di kursi DPRD, yang seharusnya menebarkan nilai-nilai demokrasi bahkan memberikan pendidikan politik demokratis, justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak demokratis. Sedangkan kepekaan wakil rakyat sangat dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Bukan hanya soal rakyat di sekitar tambang, namun bagaimana menciptakan situasi kondusif bagi keberlanjutan hidup rakyat, dan kelestarian lingkungan.
Sesuai amanah UU yang mendasari berdirinya lembaga ini, DPRD memiliki hak interplasi, hak angket dan juga hak berpendapat. Hak-hak tersebut tentu bisa digunakan untuk menekan pengambil kebijakan agar lebih memihak rakyat, bukan justru memihak pengusaha dan investor. Karena sebagaimana sudah diungkapkan di atas, investor dan pelaku usaha adalah sekumpulan orang yang hanya melihat keuntungan bukan bagaimana memberdayakan rakyat sekitar tambang dan memperhatikan kelestarian lingkungan, kalaupun ada sangat sdikit jumlahnya.
Masih sedikitnya aturan terkait eksploitasi sumber daya alam dan pertambangan di Pangkep, mengindikasikan masih kurang pekanya wakil rakyat terhadap apa yang terjadi. Bahkan, seringkali pula mereka tidak turun ke lapangan, resess, kepada rakyat yang telah menjadikannya Dewan Perwakilan Rakyat atau Penentu kebijakan, kalaupun ada hanyalah untuk memenui kebutuhan belaka, menjaga image (jaim). Yang sering terjadi justru mereka plessiran kemana-mana, keluar kota hanya untuk studi banding, belajar, dan alasan lain, dengan anggaran yang tidak sedikit. Teringat sindiran Prof. Suparlan Suhartono dalam Inclass Sekolah Demokrasi beberapa waktu lalu, “seharusnya wakil rakyat itu kalau belajar ke daerahnya sendiri, daerah-daerah terpencil, supaya kebijakan-kebijakannya tidak kesana kemari dan tidak menyentuh rakyat kecil”. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau wakil rakyat di Pangkep banyak yang plesiran dan studi banding ke kota-kota lain dengan alasan untuk mempelajari dan membandingkan. Namun, bila dilihat hasilnya, sejauh ini, setelah tambang berlangsung sejak tahun 60-an di Pangkep, baru tiga Perda yang sudah disahkan dan menjadi acuan.
Bobroknya sistem demokrasi di Pangkep terkait tambang juga diperparah oleh tidak respeknya pengambil kebijakan terhadap rintihan rakyat yang ada di tingkat bawah. Apa yang diusulkan rakyat di tingkat pedesaan melalui musrembang misalnya, terkadang jauh dari harapan. Karena apa yang dihasilkan di musrembang desa, setelah melalui kepentingan-kepentingan tertentu di tingkat kabupaten, biasanya keputusan dan yang menjadi kebijakan, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Rabbana, warga Desa Tondong Tallasa, “hanya sekian persen saja hasil dari musrembang tingkat desa yang disetujui pengambil kebijakan”.
Seringkali yang menjadi jawaban penguasa, saat rakyat resah, adalah soal prioritas. Sejauh ini kata prioritas ampuh untuk meninak bobokkan rakyat. Rakyat bungkam setelah pengambil kebijakan megatakan ada yang prioritas. Ini banyak terjadi di setiap dialog yang dilakukan rakyat atau penggerak demokrasi di Pangkep, alasan penguasa adalah ada yang prioritas. Seharusnya, setiap masalah ada porsinya masing-masing. Terkait dengan itu, sebagian dari wakil rakyat mengatakan; seandianya pajak 19 perusahaan tambang sebagaimana temuan BPK tahun 2011 kemarin terealisasi, maka akan menjadikan rakyat Pangkep sejahtera. Pertanyaannya, siapa yang bertugas mengawal mereka? Sejauh ini keluhan rakyat hanya sampai di telinga, tidak sampai membuahkan aturan atau kebijakan untuk menekan perusahaan agar melakukan kewajiban-kewajibannya. Temuan BPK tersebut adalah bukti riel dari ketidak-pekaan wakil rakyat di Pangkep.
Persoalannya bukan hanya pajak perusahaan tambang yang menunggak, pemerintah daerah sampai saat ini juga masih ambivalen dalam menentukan ukuran dari yang seharusnya di ekspor dan hasil tambang yang untuk dikelola di daerah. ditambah tidak adanya transparansi terhadap informasi yang seharusnya dikonsumsi masyarakat terkait aktifitas perusahaan-perusahaan tambang di Pangkep, khususnya perusahaan yang dikelola oleh sekumpulan orang tertentu saja. Tak salah kiranya apa yang diungkapkan M. Nawir, fasilitator tetap sekolah demokrasi Pangkep, bahwa akan lebih sulit mencari data atau informasi valid terkait dengan aktifitas perusahaan tambang yang masuk kategori privat dibanding perusahaan BUMN seperti Tonasa. Karena Tonasa selain bisa kita tekan melalui pengambil kebijakan, juga karena banyak aturan yang mendukung.  
Belum lagi soal tenaga kerja yang tidak pernah kunjung usai yang melingkupi perusahaan tambang. November tahun lalu, PT. Gunung Marmer Raya (salah satu perusahaan marmer di Pangkep) di persoalkan karena memberikan upah pada buruh mereka yang tidak sesuai dengan UMR, yaitu hanya sekitar 650 ribu per 26 harinya (lihat Upeks 11 Nov.2011). Entah karyawan tetap atau bukan, tapi fakta ini menunjukkan tidak berimbangnya antara kerusakan dan pengembalian yang diterima rakyat Pangkep. Alih-alih memberikan manfaat dengan menyerap banyak tenaga kerja, justru tenaga kerja “yang katanya rakyat sekitar tambang”, juga turut di eksploitasi.
Tak lama setelah itu, karyawan PT. Citatah (salah satu perusahaan marmer di Pangkep) berunjuk rasa guna menuntut hak mereka pada pihak perusahaan. Unjuk rasa itu dilakukan mulai tanggal 25-31 Januari 2012. Mereka menuntut perusahaan untuk memberikan uang makan sebesar 125 ribu di luar upah yang setiap bulan mereka terima. Untungnya masalah ini berakhir di ruang gedung DPRD, terjadi dialog antara karyawan dengan pihak perusahaan yang difasilitasi oleh DPRD.
Banyak fakta berserakan di lapangan yang mengkaitkan ketidakberdayaan wakil rakyat menekan investor dan pengusaha tambang. Alih-alih melindungi dan memperjuangkan hak-hak rakyat yang telah memilihnya, justru banyak wakil rakyat yang kurang peka terhadap masalah rakyat yang diwakilinya.

No comments:

Post a Comment