Sudah
selayaknya DPRD mewakili kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Karena
lembaga ini, sesuai amanat UU No. 27 Tahun 2009, dibentuk untuk menampung
perwakilan rakyat dalam upaya mendekatkan masalah rakyat dengan pengambil
kebijakan. Selayaknya pula wakil rakyat membuat aturan, mengontrol kebijakan,
atau segala hal yang mungkin timpang dan terjadi ditengah-tengah rakyatnya,
menyangkut kebutuhan dan masalah yang dihadapi rakyat di daerah dimana wakil
rakyat tersebut terpilih.
Wakil
rakyat bukanlah barang mati yang duduk diam di kursi empuk, menikmati gaji yang
tidak sedikit dari negara yang tak lain adalah hasil keringat rakyatnya. Wakil
rakyat selayaknya bersuara ketika terjadi ketimpangan di daerah, wakil rakyat
seharusnya berani mengambil langkah ketika rakyat menjerit akibat dari
kebijakan yang timpang atau pencemaran akibat kerusakan alam di daerah.
Di
Pangkep, pengelolaan sumber daya alam di dominasi oleh perusahaan tambang batu
marmer, tercatat 46 perusahaan marmer yang telah beroperasi di Pangkep hingga
Maret tahun 2012. Perusahan tersebut beroperasi di beberapa kecamatan di
Pangkep. Selain marmer juga terdapat perusahaan tambang sirtu, batu, dan tanah
liat yang sampai saat ini penulis belum mendapatkan data yang jelas terkait
yang sudah beroperasi di Pangkep.
Perilaku
perusahaan-perusahaan ini harus menjadi perhatian wakil rakyat, karena tidak
sedikit dari perusahaan-perusahaan ini yang tidak melaksanakan kewajibannya terhadap
rakyat yang ada di sekitar perusahaan. Apalagi dalam perkembangannya banyak
perusahaan yang tidak mematuhi aturan yang ada terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam, baik yang ada di pusat maupun yang ada di Pangkep sendiri.
Ibarat anak kemarin sore, banyak perusahaan yang berdiri di lokasi-lokasi dekat
tempat tinggal penduduk setempat, namun dalam operasinya justru banyak
pelanggaran terkait dengan hak-hak penduduk yang telah lama tinggal di daerah
tersebut.
Di
banyak tempat seperti di Pangkep, khususnya lokasi dimana Perusahaan tambang
banyak berdiri sangat berpotensi menjadi lahan konflik. Biasanya rakyat yang
sejak lama tinggal di daerah tersebut, merasakan langsung akibat dari eksploitasi
yang dilakukan perusahaan, apalagi kalau segi positifnya sangat kurang
dirasakan. Sebagaimana di Mesuji Lampung, Timika Papua, dan juga di Mamuju
Sulbar, adalah beberapa tempat yang telah menunjukkan bukti bahwa gejolak rakyat
terhadap pencemaran yang rakyat terima, dan eksploitasi yang berlebihan dan
pembagian yang timpang bisa berbuah pertikaian.
Demokrasi
bukanlah konsep ideal yang hanya ada di kantor Bupati dan DPR, atau hanya ada di
sekretariat-sekretariat Parpol. Demokrasi seharusnya juga dilaksanakan disetiap
institusi dan setiap individu rakyat dalam situasi dan kondisi apapun.
Apatalagi dunia usaha yang juga termasuk sebagai salah satu pilar demokrasi.
Pelaku usaha harus juga dibekali pengetahuan demokrasi/ pendidikan politik, agar
dalam setiap tindakannya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. sejauh
ini lembaga ini terpisah oleh jarak dan waktu, pelaku usaha seolah jauh dari
nilai-nilai demokrasi, karena apa yang dijalankannya tak lepas dari usahanya
untuk mendapatkan keuntungan. Tanpa mempertimbangkan nilai-nilai demokrasi, yang
dilakukannya adalah menyuap sana-sini untuk mendapatkan keuntungan lebih. Sedangkan
pengambil kebijakan dan wakil rakyat yang duduk di kursi DPRD, yang seharusnya
menebarkan nilai-nilai demokrasi bahkan memberikan pendidikan politik
demokratis, justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak demokratis. Sedangkan
kepekaan wakil rakyat sangat dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Bukan hanya soal rakyat di sekitar tambang, namun bagaimana menciptakan situasi
kondusif bagi keberlanjutan hidup rakyat, dan kelestarian lingkungan.
Sesuai
amanah UU yang mendasari berdirinya lembaga ini, DPRD memiliki hak interplasi,
hak angket dan juga hak berpendapat. Hak-hak tersebut tentu bisa digunakan
untuk menekan pengambil kebijakan agar lebih memihak rakyat, bukan justru memihak
pengusaha dan investor. Karena sebagaimana sudah diungkapkan di atas, investor
dan pelaku usaha adalah sekumpulan orang yang hanya melihat keuntungan bukan
bagaimana memberdayakan rakyat sekitar tambang dan memperhatikan kelestarian
lingkungan, kalaupun ada sangat sdikit jumlahnya.
Masih
sedikitnya aturan terkait eksploitasi sumber daya alam dan pertambangan di
Pangkep, mengindikasikan masih kurang pekanya wakil rakyat terhadap apa yang
terjadi. Bahkan, seringkali pula mereka tidak turun ke lapangan, resess, kepada rakyat yang telah
menjadikannya Dewan Perwakilan Rakyat atau Penentu kebijakan, kalaupun ada
hanyalah untuk memenui kebutuhan belaka, menjaga image (jaim). Yang sering
terjadi justru mereka plessiran kemana-mana, keluar kota hanya untuk studi
banding, belajar, dan alasan lain, dengan anggaran yang tidak sedikit. Teringat
sindiran Prof. Suparlan Suhartono dalam Inclass Sekolah Demokrasi beberapa
waktu lalu, “seharusnya wakil rakyat itu kalau belajar ke daerahnya sendiri,
daerah-daerah terpencil, supaya kebijakan-kebijakannya tidak kesana kemari dan
tidak menyentuh rakyat kecil”. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau wakil
rakyat di Pangkep banyak yang plesiran dan studi banding ke kota-kota lain
dengan alasan untuk mempelajari dan membandingkan. Namun, bila dilihat
hasilnya, sejauh ini, setelah tambang berlangsung sejak tahun 60-an di Pangkep,
baru tiga Perda yang sudah disahkan dan menjadi acuan.
Bobroknya
sistem demokrasi di Pangkep terkait tambang juga diperparah oleh tidak
respeknya pengambil kebijakan terhadap rintihan rakyat yang ada di tingkat
bawah. Apa yang diusulkan rakyat di tingkat pedesaan melalui musrembang misalnya,
terkadang jauh dari harapan. Karena apa yang dihasilkan di musrembang desa,
setelah melalui kepentingan-kepentingan tertentu di tingkat kabupaten, biasanya
keputusan dan yang menjadi kebijakan, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana
diungkapkan oleh Rabbana, warga Desa Tondong Tallasa, “hanya sekian persen saja
hasil dari musrembang tingkat desa yang disetujui pengambil kebijakan”.
Seringkali
yang menjadi jawaban penguasa, saat rakyat resah, adalah soal prioritas. Sejauh
ini kata prioritas ampuh untuk meninak bobokkan rakyat. Rakyat bungkam setelah
pengambil kebijakan megatakan ada yang prioritas. Ini banyak terjadi di setiap
dialog yang dilakukan rakyat atau penggerak demokrasi di Pangkep, alasan
penguasa adalah ada yang prioritas. Seharusnya, setiap masalah ada porsinya
masing-masing. Terkait dengan itu, sebagian dari wakil rakyat mengatakan;
seandianya pajak 19 perusahaan tambang sebagaimana temuan BPK tahun 2011
kemarin terealisasi, maka akan menjadikan rakyat Pangkep sejahtera.
Pertanyaannya, siapa yang bertugas mengawal mereka? Sejauh ini keluhan rakyat
hanya sampai di telinga, tidak sampai membuahkan aturan atau kebijakan untuk
menekan perusahaan agar melakukan kewajiban-kewajibannya. Temuan BPK tersebut adalah
bukti riel dari ketidak-pekaan wakil rakyat di Pangkep.
Persoalannya
bukan hanya pajak perusahaan tambang yang menunggak, pemerintah daerah sampai
saat ini juga masih ambivalen dalam menentukan ukuran dari yang seharusnya di
ekspor dan hasil tambang yang untuk dikelola di daerah. ditambah tidak adanya
transparansi terhadap informasi yang seharusnya dikonsumsi masyarakat terkait
aktifitas perusahaan-perusahaan tambang di Pangkep, khususnya perusahaan yang
dikelola oleh sekumpulan orang tertentu saja. Tak salah kiranya apa yang
diungkapkan M. Nawir, fasilitator tetap sekolah demokrasi Pangkep, bahwa akan
lebih sulit mencari data atau informasi valid terkait dengan aktifitas
perusahaan tambang yang masuk kategori privat dibanding perusahaan BUMN seperti
Tonasa. Karena Tonasa selain bisa kita tekan melalui pengambil kebijakan, juga
karena banyak aturan yang mendukung.
Belum
lagi soal tenaga kerja yang tidak pernah kunjung usai yang melingkupi
perusahaan tambang. November tahun lalu, PT. Gunung Marmer Raya (salah satu
perusahaan marmer di Pangkep) di persoalkan karena memberikan upah pada buruh mereka
yang tidak sesuai dengan UMR, yaitu hanya sekitar 650 ribu per 26 harinya (lihat
Upeks 11 Nov.2011). Entah karyawan tetap atau bukan, tapi fakta ini menunjukkan
tidak berimbangnya antara kerusakan dan pengembalian yang diterima rakyat
Pangkep. Alih-alih memberikan manfaat dengan menyerap banyak tenaga kerja,
justru tenaga kerja “yang katanya rakyat sekitar tambang”, juga turut di
eksploitasi.
Tak
lama setelah itu, karyawan PT. Citatah (salah satu perusahaan marmer di
Pangkep) berunjuk rasa guna menuntut hak mereka pada pihak perusahaan. Unjuk
rasa itu dilakukan mulai tanggal 25-31 Januari 2012. Mereka menuntut perusahaan
untuk memberikan uang makan sebesar 125 ribu di luar upah yang setiap bulan
mereka terima. Untungnya masalah ini berakhir di ruang gedung DPRD, terjadi
dialog antara karyawan dengan pihak perusahaan yang difasilitasi oleh DPRD.
Banyak
fakta berserakan di lapangan yang mengkaitkan ketidakberdayaan wakil rakyat
menekan investor dan pengusaha tambang. Alih-alih melindungi dan memperjuangkan
hak-hak rakyat yang telah memilihnya, justru banyak wakil rakyat yang kurang
peka terhadap masalah rakyat yang diwakilinya.
No comments:
Post a Comment