Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Tuesday, June 29, 2010

Menyoal Demokrasi

“Refleksi Demokratisasi di Kabupaten Pangkep Menjelang Pimilukada (Pilkada) 2010”

Refleksi demokrasi di kabupaten Pangkep dalam Dialog Public yang dilaksanakan di aula pertemuan gedung Dharma Wanita pangkep oleh LAPAR Sulsel beberapa waktu lalu, sebagai rangkaian kegiatan Sekolah Demokrasi Angkatan Pertama di kabupaten Pangkep, mengungkap beberapa hal yang menarik untuk di cermati lebih lanjut.
Dari perkembangan wacana demokrasi, soal kesejahteraan menjadi issu utama demokratisasi di Pangkep. Dengan kata lain kesejahteraan menjadi tolak ukur dalam perhelatan demokrasi di Pangkep itu sendiri. Tak luput dari kritikan beberapa peserta yang mengungkapkan masih begitu lemahnya pelayanan public di Pangkep, dengan beberapa indikasi, yang salah satunya adalah masih kurang meratanya tingkat pelayanan di masyarakat.
Mengingat, beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan pemberitaan di beberapa media massa tentang bagaimana masyarakat yang ada di beberapa pulau (dalam ruang lingkup kabupaten Pangkep) tidak mendapatkan jatah raskin. Keterbatasan ruang dan jauhnya medan menjadi “kambing hitam” yang terlontar dari Pemerintah.
Pelayanan pubik sering diartikan sebagai pelayanan Negara terhadap rakyatnya. Buruknya pelayanan publik mengindikasikan buruknya kualitas bernegara dalam satu wilayah. Setiap warga yang tinggal dan menetap dalam satu daerah mendapat hak yang sama dalam hal pelayanan, tanpa memandang jauh dekatnya medan.
Dalam kesempatan tertentu salah satu narasumber dialog publik menyatakan, bahwa tanggung jawab berdiri tegaknya demokrasi bukan cuma ada pada pemimpinnya, namun rakyat dan seluruh element yang ada dalam daerah tersebut ikut bertanggung jawab. Memang yang sering terjadi pemerintah kurang memperhatikan hak-hak rakyatnya, justru sebaliknya, kewajiban rakyat terhadap Negara selalu di persoalkan.
Dalam kesempatan tertentu rakyat semakin bingung memaknai demokrasi, dimana faktanya pemimpin yang dulu dia pilih semakin acuh dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar rakyat. Berbeda sekali ketika Pilkada baru akan dimulai. Seorang kandidat tidak segan-segan merangkul dan mengatasnamakan bagian dari kelompok rakyat, bahkan memberikan janji-janji politik demi tujuannya untuk maju sebagai kandidat Bupati.
Dalam demokrasi yang kita pahami juga masih sering terjadi pelanggaran-pelanggaran. Pelanggaran yang sering sekali terjadi adalah penyelewengan terhadap wewenang kekuasaan. Sebagai contoh, belum maksimalnya soal penerapan aturan netralitas seorang PNS dalam Pilkada itu sendiri. Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu peserta dialog yang melihat beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh PNS di pilkada Pangkep periode sebelumnya.
Sedangkan, Pilkada adalah satu momentum demokrasi yang harus dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam pilkada rakyat menentukan seorang nahkoda yang akan memimpin satu daerah ke tatanan yang demokratis. Namun ironisnya, tidak jarang dalam menjalani pilkada, kita menggunakan cara-cara yang tidak demokratis.
Dalam demokrasi, Pilkada adalah satu tahap yang harus dilewati. Setelah terpilihnya seorang pempimpin, yang penting untuk dilakukan adalah pengawasan. Pengawasan rakyat kepada prilaku politik pemimpin akan menentukan arah dan tujuan pemimpin dalam bernegara. Dengan kata lain, pengawasan adalah salah satu unsur penting yang harus dijalankan dalam demokrasi. Demokrasi bisa saja jalan tanpa pengawasan, namun demokrasi tanpa pengawasan akan menjadi demokrasi yang salah jalan.
Dalam bernegara sendiri, ada dua kategori yang harus dipahami. Ada yang disebut Negara dalam artian lembaga-lembaga yang diberi kewenangan dalam penyelenggaraan urusan bernegara, dan ada yang disebut sebagai masyarakat atau rakyat, yang berada pada posisi sebagai warga yang berhak mendapat pelayanan dari negara. Negara berkewajiban memberikan pelayanan kepada warganya terkait dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, demi tercapainya tujuan utama dibentuknya Negara, yaitu “demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.” Semua orang dalam ruang lingkup Negara berkewajiban mematuhi aturan, baik sebagai penyelenggara Negara maupun sebagai warga Negara biasa.
Namun hubungan ini (Negara dengan warganya) kadang tidak harmonis, tercemari oleh tangan-tangan korup, yang menghalalkan berbagai cara demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Satu sisi, Negara kadang menyalahartikan kekuasaannya untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, tanpa perduli kepada rakyatnya, walau kadang harus menindas, mendiskriminasi, bahkan menghilangkan hak warganya sendiri. Demi kepentingan pemodal asing misalnya, kadang Negara mengabaikan hak hidup rakyatnya dengan mengeksploitasi alam yang menjadi tumpuhan hidup warganya.

Demokrasi dalam bingkai Pilkada
Mungkinkah tercipta pilkada yang damai, jujur, adil dan rahasia? Jawabannya, mungkin saja apabila seluruh elemen siap untuk berdemokrasi. Terlebih lagi bagi kandidat yang maju sebagai calon. Seberapa besar kesiapan mereka menerima kekalahan dan legowo terhadap kemenangan lawan politiknya.
Dari beberapa pengalaman, yang sering terjadi adalah setiap kandidat hanya siap untuk menerima kemenangan, bukan kekalahan. Seorang kandidat yang kalah kadang mencari cara untuk mempermasalahkan kekalahannya atau mencari akal agar yang menang bisa dianulir kemenangannya, yang tidak jarang berakhir dengan kericuhan.
Maju sebagai seorang kandidat Bupati sudah pasti butuh modal dan pengeluaran yang relative banyak. Ini memungkinkan seorang kandidat yang kalah akan mengalami depresi dan shok. Namun, seorang kandidat, sebelum dia mencalonkan diri, pasti sudah tau akibat dari sebuah “perebutan”, ada yang dapat ada yang tidak dapat. Ada yang menang dan pasti ada yang kalah. Kesiapan untuk menerima kekalahan inilah yang belum dimiliki oleh masyarakat kita secara umum. Pada umumnya masyarakat masih lebih siap menerima kemenangan. Sedangkan kekalahan dimaknai sebagai sebuah kehancuran, keterpurukan yang tidak bisa diterima. Seakan-akan slogan “kekalahan adalah awal dari kemenangan” hanya berlaku pada pertandingan atau perebutan sesuatu yang pembiayaannya kecil, bukan sekelas pilkada.
Tak dapat dipungkiri, demokrasi terkadang juga hanya menjadi latar atau begroud dari tujuan yang lebih besar seorang kandidat tertentu. Tak jarang kita melihat bagaimana seorang pemimpin yang terpilih dengan cara-cara yang demokratis, namun setelah berkuasa mengabaikan fungsi-fungsi demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahannya. Nyaris, hanya beberapa orang pemimpin saja yang siap untuk di kritik di negeri yang masih belajar berdemokrasi ini.
Secara prosedural demokrasi memang telah terlaksana, namun secara subtansial apa yang kita cita-citakan untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang demokratis masih belum sepenuhnya tercapai. Masih banyak pemimpin yang dilahirkan dari cara-cara yang kita anggap sudah demokratis, namun tidak berkualitas. Terlebih lagi, masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran dari berbagai hajatan demokrasi yang kita lakukan.
Pilkada sendiri adalah salah satu hajatan demokrasi yang harus dilewati secara prosedur, namun issu money politik tidak pernah hilang dari setiap diadakannya pilkada. Disisi lain, rakyat masih belum sepenuhnya paham dengan politik, sehingga tidak jarang dari masyarakat yang lebih apatis dan memilih untuk diam pada setiap pelanggaran yang ada. Karena, di level partai partai politik sendiri hanya sibuk mengurusi soal siapa kader yang banyak mendapatkan dukungan atau tidak, dibanding memberikan pendidikan politik pada masyarakat, yang sebetulnya menjadi tugas utama Parpol.

Sebuah bangsa yang pemarah
Dalam kritikan bernuansa sindiran terhadap Bangsa ini, Rahman Arge menggambarkan bagaimana sebuah bangsa yang lupa akan tradisi dan ciri khasnya tempo dulu. Dulu, bangsa Indonesia yang dikenal ramah dan santun, berganti menjadi bangsa yang suka marah. Karena, jauh sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, rakyat Indonesia di kenal dengan sebuah bangsa yang ramah dan santun. “Orang-orang tua yang bersileweran (berjalan kesana-kemari) dengan wajah-wajah sumringah (senyum mengembang), bibir-bibir yang tak henti-hentinya tersenyum, tanda bahwa hati mereka mekar diliputi rasa syukur.” Begitu salah satu gambaran rakyat Indonesia beberapa tahun silam menurut Arge dalam tulisannya di harian fajar minggu 18 April kemarin.
Bangsa Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah bangsa yang mapan secara ekonomi dan politik. Secara ekonomi Indonesia memiliki berbagai macam sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan, namun kadang dimonopoli oleh investor dan kelompok tertentu saja. Secara politik, bangsa Indonesia memiliki berbagai macam kearifan local yang secara umum sejalan dengan subtansi demokrasi. Namun hal seperti ini banyak di abaikan oleh para pemimpin dan mereka yang duduk di pemerintahan. Sehingga apa yang diharapkan untuk menciptakan tatapemerintahan dan konsep bernegara yang demokratis kadang terhalang oleh perkembangan pemikiran dari rakyat yang coba mengadopsi pemikiran dari luar.
Disinilah dibutuhkan kebijakan yang mengarah pada independensi dan pembangunan yang berakar dari dalam, bukan dari luar, yang mencoba dipaksakan untuk selaras dengan karakteristik bangsa Indonesia yang sesungguhnya jauh berbeda.
Pilkada atau apapun namanya dalam bingkai demokrasi, sudah seharusnya dilakukan dan dihadapi dengan cara-cara yang demokratis. Kalau memang terjadi pelanggaran, buktikan bahwa memang terjadi hal-hal diluar aturan di hadapan hukum, atau lembaga hukum yang memang ditunjuk untuk menangani pelanggaran tersebut. Pilkada misalnya, ajukan pada pengawas pemilu dengan disertai bukti-bukti yang kongkrit.
Cara-cara yang demokratis dalam meindaklanjuti setiap masalah, mengindikasikan seberapa jauh sebuah tatanan masyarakat faham tentang subtansi demokrasi. Karena berdemokrasi berarti adalah menjalankan tradisi dan kearifan local yang juga dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia yang selama ini terabaikan. Masyarakat yang ramah, santun, jujur dan berani. Berani dalam arti, berani menerima kemenganan dan berani menerima kekalahan. Semoga. Mujib

No comments:

Post a Comment