Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Tuesday, March 29, 2011

TKI dan Regulasi yang Tidak Memihak

Dengan harapan besar untuk mencari nafkah, beberapa warga Indonesia pergi ke negeri orang untuk menjadi TKI. Ada yang menjadi pembantu rumah tangga, ada juga yang menjadi buruh di perkebunan, restauran atau apa saja yang bisa menghasilkan uang. Demikian pula yang dilakukan Ikhsan, salah seorang warga kelurahan Antang, Makassar, yang beberapa tahun lalu pergi ke negeri Jiran Malaysia untuk mencari nafkah demi keluarganya dengan menjadi buruh di salah satu restauran.
Ikhsan telah mendapatkan sebagian dari apa yang diinginkannya, beberapa uang telah di dapatkan. Namun, saat hendak pulang ke negeri asalnya Indoneisa, esok harinya, malam hari saat istirahat dia di tangkap oleh petugas Imigrasi Malaysia.
Setelah kurang lebih Empat tahun di Malaysia, uang yang seyogianya akan dipakai untuk menafkahi keluarganya justru habis untuk biaya tebusan di tahanan imigrasi Malaysia. Ironisnya, setelah mengeluarkan uang kurang lebih Lima Puluh Juta Rupiah, Ikhsan tidak juga bebas. Hal itu terjadi lantaran Ikhsan tidak faham mekanisme yang berlaku di rumah tahanan Malaysia tersebut. “Ternyata penjaga tahanannya berganti-ganti,” jelas Ikhsan sambil sesekali mengusap matanya. Penjaga tahanan yang Ikhsan berikan uang tebusan, ternyata di hari-hari berikutnya tidak lagi menjaga.
Parahnya lagi, di dalam tahanan Ikhsan sering di pukul dan di siksa oleh penjaga tahanan. “Saya masih trauma sampai sekarang” katanya. Masa-sama itu Ikhsan lalui selama kurang lebih enam bulan. Ikhsan mendapat keringanan dari masa tahanan yang seharusnya satu tahun, hal itu terjadi lantaran ada jatah pemulangan imigrant Indonesia ke Negeri asalnya yang kurang, kebetulan Ikhsan masuk sebagai salah seorang yang di”ikut sertakan” untuk memenuhi kuota tersebut.
Sesampainya di Tanjung Pinang Ikhsan tidak lantas bisa langsung pulang sendiri ke kampung halamannya, Ikhsan tetap harus di kawal oleh petugas. Sesampainya di kampung halaman Ikhsan berencana tidak akan pernah kembali lagi ke Malaysia. Setelah meninggalkan Malaysia Ikhsan menetap di Makassar sambil menjalani usaha menjual Batagor keliling. Namun, setiap hari Ikhsan harus menahan trauma akibat kehidupan di dalam tahanan malaysia, lantaran masa aktif Pasportnya habis.
Kisah pilu tersebut terjadi sehari saat Ikhsan hendak meninggalkan Malaysia. Barang-barang bawaan yang akan dibawa pulang ke dalam negeri juga sudah siap. Di kemas dan di tata rapi. Berhubung, tiket pesawat jam Dua siang telah habis, Ikhsan membeli tiket pesawat yang berangkat pagi. Saat tertidur dimalam hari itulah datang seseorang ketuk-ketuk pintu, tanpa curiga Ikhsan membuka pintu. Namun ternyata yang datang adalah petugas Imigrasi Malaysia, tak ayal Ikhsan di tangkap dan di masukkan dalam tahanan, lantaran sudah beberapa hari Paspornya telah habis masa aktifnya.
Dari sinilah kisah pilu di dalam tahanan Malaysia itu bermula. Ikhsan merasakan penderitaan yang luar biasa di dalam tahanan, terlebih lagi uang yang seyogianya akan diberikan untuk menafkahi keluarganya justru habis dinikmati penjaga tahanan Malaysia yang tidak di kenal Ikhsan dengan baik.
Berawal dari wawancara kecil yang saya lakukan bersama teman “Mira” ke rumah Ikhsan. Suasana haru menyeruak saat Ikhsan mulai bercerita tentang kisah tragisnya tersebut. Setiap hari Ikhsan di pukul dan di siksa oleh penjaga tahanan. Ikhsan mengisahkan bagaimana dirinya seperti sebuah patung yang menjadi bahan percobaan untuk dipukuli semena-mena oleh penjaga tahanan, sedangkan kejahatan yang dia lakukan hanyalah kehabisan masa aktif Paspor.
Masa-masa itu Ikhsan lalui dengan penuh penderitaan, sambil sesekali menahan air matanya yang serasa akan keluar dia berkata, “satu hari serasa satu tahun,”. Untungnya masa tahanan yang sedianya satu tahun, hanya berlangsung enam bulan, karena kebetulan ada jatah pemulangan warga negara Indonesia ke negaranya yang kurang.
Kini, Ikhsan tinggal di salah satu kompleks di kelurahan Antang, Makassar. Rumah seseorang yang dengan baik hati mengizinkan Ikhsan dan keluarganya untuk tinggal dan menetap disana, tanpa harus bayar uang sewa. Sambil menjual Batagor keliling Ikhsan menjalani kehidupannya dengan tekat kuat untuk mencari nafkah di dalam negeri tanpa pernah lagi merantau ke Malaysia. Warga sekitar mengenal Ikhsan dengan sangat baik. Disamping karena Ikhsan menjual Batagor, Ikhsan juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sederhana.
Hal serupa juga di alami suami Wahida, yang mengantar kami ke rumah Ikhsan. Dari cerita Wahida suaminya ‘Nurdin’, bahkan harus selalu pakai celana dalam di dalam tahanan. Karena tidak diizinkan memakai baju atau celana selain celana dalam di dalam tahanan.
Tidak jauh beda dengan Ikhsan, Nurdin juga selalu mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Di pukul dan di cambuk semasa berada di dalam tahanan. Kasusnya juga sama dengan Ikhsan yaitu karena masa aktif Paspor yang telah habis.
Wahida dan Nurdin sendiri adalah mantan TKI yang menikah di Malaysia. Sampai sekarang beberapa orang anaknya masih berada di Malaysia, bahkan sudah memiliki kartu identitas penduduk Malaysia. Kini keluarga ini juga menetap dalam satu kompleks dengan Ikhsan. Bedanya, Nurdin kini berprofesi sebagai buruh bangunan dan Wahida sesekali di panggil oleh tetangganya untuk mencuci baju di rumah tetangga mereka.
Ada yang menarik dari kisah pilu yang di alami dua keluarga di atas. Mengingat masih banyak warga Indonesia yang sampai saat ini mencari nafkah dan mengadu nasib di negeri Jiran Malaysia. Di satu sisi kisah pilu perlakuan beberapa oknum di Malaysia terhadap TKI kita, tidak kunjung ada jalan keluarnya, agar tidak terulang kembali.
Sebagaimana UU kita, yang mengansumsikan setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang sama di mata hukum, baik dia berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Apalagi sebagian APBN juga berasal dari TKI yang menyebar di beberapa Negara di dunia, termasuk Malaysia, maka tidak ada alasan untuk tidak melindungi para TKI.
Perlu ada perlindungan lebih terhadap para TKI, mengingat akses mereka yang jauh dari sanak famili dan semua kerabatnya. Sehingga apabila ada TKI yang tertimpa masalah, ada jalan yang bisa dia tempuh, untuk keluar dari masalahnya.
Tanggung jawab tersebut jelas berada pada pemerintah. Pemerintah wajib melakukan tindakan pencegahan, bukan dalam arti mencegah warga Indonesia menjadi TKI, mengingat kebutuhan mereka yang tidak mungkin lagi terpenuhi oleh kebijakan di dalam negeri yang terkesan jauh dari keberpihakan terhadap mereka. Namun, kebijakan untuk tercipatnya kepastian hukum, yang berfungsi untuk melindungi para TKI yang ada di luar negeri.
Selama ini yang terjadi justru pemerintah terkesan tidak maksimal dalam menangani kasus-kasus yang menimpa para TKI. Bantuan diberikan justru setelah terjadinya kasus demi kasus. Sehingga masalah demi masalah yang menimpa para TKI berlalu tanpa ada tindakan berarti. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana Sumiati Binti Mustofa, warga Dompu yang di siksa di luar batas kemanusiaan di Arab Saudi, sedangkan pemerintah hanya mengeluarkan nada protes, yang tidak akan menghalangi setiap majikan untuk menyiksa kembali pembantunya dalam situasi dan kondisi yang lain. Atau menyiksa beberapa orang yang terkena kasus seperti Ikhsan karena kehabisan masa aktif paspor. Sungguh ironis...!!!

No comments:

Post a Comment