Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Wednesday, July 14, 2010

Pertarungan Simbol di Kota Serang

“Nu ngarana jawara eta lain tukang pukul atau tukang kadek, tetapi arti jawara di dieu tukang ngabantu masyarakat nu bener jeung biasana ngamankeun. Jadi singkatan jawara eta adalah jalinan warga aman sejahtera.
(Yang namanya jawara itu bukan tukang pukul atau tukang bacok, tetapi arti jawara di sini adalah tukang membantu masyarakat yang benar dan biasanya memberikan pengamanan. Jadi singkatan jawara itu adalah jalinan warga aman sejahtera)

“Jawara” adalah sebutan sekelompok orang yang memiliki bergening position yang massif, penguasaan ekonomi, sosial, budaya dan jaringan luas di kota Serang, ibukota Propinsi Banten yang baru pada 2007 kemarin disahkan menjadi Provinsi. Jawara juga menjadi simbol sekelompok orang pintar, pesilat dan sompral (blak-blakan) dalam menyampaikan pendapatnya. Sehingga tidak heran siapapun yang bertemu atau berkumpul dengan jawara dalam satu acara formal misalnya, mendengar dan melihat bagaimana Jawara berbicara dengan sangat keras dan blak-blakan bahkan terkesan intimidatif, karena memang seperti itulah jawara.
Jawara juga mengambil posisi-posisi penting di kota Serang, sebagian besar mereka bergabung dengan Partai Golkar (PG) yang berideologi nasional sekuler. Dari PG, jawara memainkan peran sangat penting, bahkan sebagian besar wakil dari PG yang di Dewan Kota Serang maupun provinsi Banten adalah Jawara, selain itu mereka juga mewakili kelompok Pengusaha dan “Pengawal Kyai”.
Di sisi lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dulu namanya adalah PK dengan ideologi Islamnya, di kota Serang mengembangkan konsep Tarbiyah. PKS-Tarbiyah memainkan peran dalam mengembangkan ke-Islaman yang berhaluan modernis di kota Serang. PKS-Tarbiyah dan PG-jawara sama-sama memiliki bergening position dalam dealektika politik, ekonomi, sosial dan budaya di kota Serang. Selain itu PG-jawara dan PKS-Tarbiyah hingga dua tahun ini menjadi icon pertarungan dan perebutan kekuasaan di kota Serang dengan ideologi masing-masing, PG-jawara dengan ideologi nasionalisme sekulernya, PKS-Tarbiyah dengan ideologi Nasionalisme Islam.
Dua ideologi besar tersebut di kota Serang menjadi sangat dominan, dan sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat yang tinggal di kota Serang. Karena PG-jawara cenderung menggunakan issu-issu tradisionalisme dan selalu mempertahankan tradisi, sehingga kebanyakan yang mendukung dan bergabung dengan PG-jawara adalah warga masyarakat yang tidak setuju dengan konsep Islam Formalis, tekstualis dan puritan. Berbeda dengan PKS-Tarbiyah yang mengembangkan Islam modernis dengan seruan untuk kembali menerapkan Islam secara kaffah, bahkan cenderung puritan. Maka kebanyakan dari pendukung dan anggota-anggota PKS-Tarbiyah adalah para terdidik, mahasiswa dan golongan kelas menengah ke atas, yang jelas kedua kelompok tersebut menjadi simbol pergerakan dan tentunya mendapat tempat strategis untuk selalu diperhitungkan bagi masyarakat di Kota Serang.
Selain soal ideologi, jawara juga menjadi simbol dari sekumpulan orang pintar, pesilat dan “pengawal Kyai.” Sebagaimana diketahui, kebanyakan dari Jawara adalah alumni pondok pesantren yang menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu bela diri. Ini menjadi Jawara juga disegani di kalangan santri dan alumni pondok pesantren. Berikut kutipan dari buku ini.
Berbeda dengan keislaman yang melekat pada masyarakat Serang, kejawaraan hanyalah identitas sekelompk orang di wilayah Bantan secara umum, yaitu kelompok jawara. Persoalannya, meskipun hanya merupakan salah satu unsur dari masyarakat Serang, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Dengan posisinya yang dominan layaknya Kyai, jawara bisa mempengaruhi dinamika sosial Serang, bahkan saat ini, jawara bisa dibilang jauh lebih menentukan daripada Kyai.
Karena pengaruhnya, sehingga tidak jarang dalam segala tindakannya PG-jawara melakukan tindakan kasar dan intimidatif dalam setiap berbicara. Ini menjadi identitas yang melekat pada Jawara. Disisi lain hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi PKS-Tarbiyah yang dalam konsepnya selalu menawarkan sikap kritis dan mengedepankan akal atau ayat agama dibanding tindakan kekerasan. Sehingga PKS-Tarbiyah disamping mendapat dukungan dari orang-orang yang selama ini ber-Islam secara formal, dia (PKS-Tarbiyah) juga mendapat dukungan dari orang-orang yang tidak sepakat dengan tindakan-tindakan ala PG-jawara yang selalu melakukan kekerasan dalam menyikapi persoalan.
Dalam pandangan Bordue, siapapun yang menguasai empat aspek, modal sosial, modal budaya, modal ekonomi dan modal simbolik, dialah yang akan menentukan arah gerak majunya sekelompok orang dalam satu wilayah. Itulah gambaran jawara, sebagai agen politik, simbol dari orang-orang pintar, kaya, sompral dan pandai ilmu bela diri.
Sedang menurut Andi Rahman Alamsyah penulis buku ini, “ada tiga hal yang menjadi ukuran modal budaya, yaitu kepemilikan benda-benda yang dianggap memiliki gengsi tinggi, pengetahuan dan keterampilan yang diakui masyarakat, dan kebiasaan-kebiasaan yang mendarah daging pada diri seseorang mulai dari gerak-gerik tubuh, gaya bahasa, cita-rasa, dan sebagainya. Salah satu benda paling bergengsi yang dimiliki PG adalah kantor parpol yang mewah, besar, dan berlokasi di tempat strategis.”
Di sisi lain, PKS-Tarbiyah semakin leluasa dan mendapat tempat dihati masyarakat kota Serang, dengan pengembangan wacana Islam modernis dan anti kekerasan, seolah-olah menegaskan bahwa PKS Tarbiyah berseberangan dengan langkah-langkah yang digunakan PG Jawara.
Terlepas dari itu, PG Jawara dan PKS Tarbiyah adalah dua agen besar yang menguasai dan memegang peranan penting bagi dialektika perpolitikan di Kota Serang. Sehingga muncullah wacana soal Bantenisasi Demokrasi. Karena Demokrasi dalam konteks Banten jauh berbeda dengan Demokrasi secara teoritis yang sering dipahami orang. Demokrasi ala Banten adalah Demokrasi Prosedural (Huber dkk 1999) dan Demokrasi Tak Terkonsolidasi (HuntingDiamond 1999).
Ini terlihat dari cara-cara yang dilakukan oleh PG-jawara, walaupun cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, namun konsepnya tentang mempertahankan tradisi dan menolak konsep penerapan Syariah Islam di kota Serang adalah salah satu bentuk sikap yang demokratis. Karena menurut mereka (PG-jawara) Banten secara umum, belum siap menerapkan Syariat Islam, karena penduduknya yang sangat beragam. Dari data yang ada, di Provinsi Banten memang terdapat lima agama besar disana. Sehingga alasan yang disampaikan PG-jawara benar adanya.
Di sisi lain, konsep PKS-Tarbiyah tentang kebebasan Pers dan penghargaan terhadap kritikan adalah sebagian dari sikap-sikap yang demokratis. Sehingga bisa dikatakan bahwa sejatinya Banten telah menerapkan Demokratisasi. Bahkan, secara prosedural Demokratisasi telah dijalankan, termasuk di dalamnya adalah Pemilu langsung yang telah dilaksanakan beberapa kali di Banten.
Terlepas dari itu, PG yang menjadi arena bermain jawara secara umum dalam beberapa Pemilu pasca orde baru meraih suara terbanyak. Dalam pemilu 2010 tercatat PG mendapatkan 10 kursi di Dewan Kabupaten Serang dan 7 kursi di Dewan Kota Serang pada pemilu 2009. Sedangkan PKS dengan Tarbiyahnya mampu meraih 5 kursi di Dewan Kabupaten Serang dan 3 kursi di Dewan kota Serang, namun peranan PKS-Tarbiyah dalam menyokong Gubernur terpilih bersama-sama dengan PG menjadikan beberapa kebijakan yang diambil Pemda terpilih sedikit banyaknya berpihak pada ideologi Islam Formal. Ini terlihat dari beberapa Perda Syariat Islam yang disahkan oleh Pemda.
Dari sinilah muncul wacana tentang pragmatisme politik PKS di Serang. PKS-Tarbiyah yang cenderung tidak ketemu dengan PG-jawara tentang konsep ber-Islam, tiba-tiba berkoalisi untuk bersama-sama mendukung Gubernur terpilih yaitu Bunyamin dan Haerul Jaman di putaran kedua Pilkada Banten saat itu. Pertanyaannya, yang terjadi politisasi PG-jawara atau Pragmatisme Politik ala PKS-Tarbiyah?
Yang jelas, begitulah “agen” menurut Haber dkk, bebas memilih dan bahkan menafsirkan ulang Demokrasi. Sehingga yang terjadi bukanlah Demokratisasi Banten, tapi justru sebaliknya Bantenisasi Demokrasi. Karena pengaruhnya, agen juga mampu mencampur adukkan nilai-nilai yang Demokratis dengan yang tidak, menjadi khas ala Jawara di Banten.
Begitulah beberapa gambaran yang disampaikan dalam Buku hasil penelitan mendalam Andi Rahman Alamsyah ini yang berjudul Islam, Jawara dan Demokrasi. Ditegaskan pula bahwa data-data yang diperoleh adalah juga dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya adalah empat penelitian yang dilakukan oleh Zaini, Hadiz, Fauzi dan Romli.
Dengan bahasa yang lugas dan data empirik yang disajikan, menjadikan buku ini kaya akan makna. Dilengkapi dengan penyajian diagram dan tabel-tabel untuk mempermudah pembaca memahami fakta-fakta yang terjadi di Serang.
Buku ini hendak mengabarkan pada kita semua, bahwa ada sebuah realitas sosial, dimana cara-cara orde baru masih mengakar dan dilakukan oleh sekelompok orang walaupun tidak seutuhnya. Namun, dia menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Serang khususnya, karena menguasai empat simbol sebagaimana yang disebutkan Bordue.
Di sisi lain, pengembangan ke-Islam-an dari yang tradisional ke yang lebih modern juga sementara berjalan di Serang. Kelompok pembawa konsep seperti ini walaupun sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, namun dalam konteksnya sekarang ini menjadi warna tersendiri bagi masyarakat muslim di Serang. Selain karena membawa konsep Islam yang nota bene berbeda dengan yang dipahami masyarakat awam yang masih mempertahankan tradisi, namun masalahnya kelompok tersebut juga adalah bagian dari kelompok yang dominan di kota Serang. Selamat membaca...

Saiful Mujib
Pengelola Sekolah Demokrasi Pangkep A.1

No comments:

Post a Comment