Fakta bahwa desentralisasi memberikan perubahan
bagi praktek demokrasi, khususnya di tingkat lokal nampaknya tak perlu
diragukan. Desentralisasi memberikan keleluasaan bagi rakyat di daerah untuk
memilih pemimpinnya sendiri. Desentralisasi juga memberikan keleluasaann bagi
pemerintah daerah untuk membuat kebijakan demi mengembangkan daerahnya sendiri.
Namun, bahwa desentralisasi membawa efek kejenuhan bagi rakyat di daerah juga
menjadi kenyataan yang tak dapat dipungkiri.
Kejenuhan itu bukan lantaran tidak dapat
memilih pemimpin secara langsung di daerah. Atau karena porsi partisipasi
politik yang dimiliki rakyat di daerah. Namun lebih pada aspek perubahan dari
janji-janji politik, dari sekian banyak pemimpin yang telah mereka pilih secara
langsung, yang tak kunjung jadi kenyataan.
Idealnya, praktek desentralisasi memberikan
banyak pendidikan politik bagi rakyat ditingkat lokal, karena porsi
pemerintahan yang cukup besar dimiliki oleh pemerintah daerah otonom.
Kesempatan yang tidak didapatkan di era orde baru. Dimana partisipasi politik
rakyat bisa dikatakan sangat memprihatinkan (semua aspek kembali ke pusat,
termasuk diantaranya pendapatan asli daerah (PAD), pendistribusiannya
ditentukan oleh pemerintah pusat, yang terkadang tidak kembali ke daerah.
Itulah kenapa kebijakan yang ditentukan pusat terkadang jauh dari apa yang
diharapkan rakyat di daerah. Karena kebijakan diambil secara sepihak dan satu
arah). Sehingga dapat dikataan, era reformasi adalah euforia karena terbebas
dari kungkungan demokrasi satu arah tersebut.
Setelah 32 tahun demokrasi berlangsung dengan
tanpa kontrol. Keadilan dan kesejahteraan hanya berputar pada sekelompok orang
yang dari awal telah memiliki bergening position massif secara politik. Maka di era reformasi perubahan ke arah perbaikan mulai menampakan diri,
ditandai dengan perkembangan praktek berdemokrasi. Otonomi daerah (otoda)
adalah salah satu dari buah reformasi tersebut. Pusat membagi kewenangannya
dengan daerah. Bahkan setiap daerah otonom diberikan keleluasaan untuk
mengelola anggarannya sendiri, tanpa campur tangan pusat.
Disatu sisi desentralisasi
memberikan pendidikan politik di masyarakat, karena partisipasi politik yang
rakyat miliki semakin meningkat di era ini. bahkan sangat memungkinkan rakyat
turut serta dalam menentukan baik buruknya daerah secara langsung.
Desentralisasi juga
dikenal sebagai pemisahaan kekuasaan antara pusat dan daerah. Kekuasaan daerah
untuk mengembangkan daerahnya sendiri memiliki porsi yang cukup besar di era
ini. Karena pusat membatasi kekuasaannya hanya dalam beberapa poin saja.
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 Butir 7 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang dipertegas pada Pasal 2 ayat 2 PP No.38 Tahun 2007, bahwa kekuasaan
pemerintah pusat meliputi:
1.
Politik luar negeri
2.
Pertahanan
3.
Keamanan
4.
Yustisi
5.
Moneter dan fiskal
nasional, dan
6.
Agama
Penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dijelaskan pada Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) UU
No. 32 tahun 2004 jo Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 38 tahun 2007.
Berdasarkan pasal 10 ayat
(2) UU No. 32 tahun 2004, pemerintahan daerah diberikan otonomi yang seluas
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah berdasarkan asas otonomi.
Namun, tidak sedikit yang
melihat perkembangan demokrasi lokal ini melampuai realitas yang dibayangkan
para pemikir demokrasi sebelumnya. Bahwa desentralisasi menciptakan rakyat yang
dengan sadar memilih pemimpinnya. Aktor-aktor politik yang menduduki jabatan
politik adalah mereka yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya sebagai wakil
rakyat.
Realitas politik justru
menunjukkan gejala lain. Rakyat terlena
dengan sistem politik yang berlangsung di daerah. Pemimpin politik lebih banyak
yang lupa akan tugas dan kewajibannya. Sedangkan saat menjelang pilkada mereka
(calon-calon pemimpin) berjubel dan menghiba suara rakyat, dengan berbagai
program yang mereka tawarkan untuk rakyat.
Parahnya lagi, rakyat memilih terkadang lebih
karena dorongan lain (uang atau barang), bukan atas kesadaran akan kebutuhan
pemimpin yang dapat membawa perubahan positif. Sedangkan politik uang atau
barang justru akan menjadikan rakyat berfikir pragmatis. Ada uang ada suara.
Siapa yang memberikan lebih banyak kesanalah suara diberikan.
Sistem politik yang berlaku menelorkan
calon-calon pemimpin yang tidak layak. Mereka terpilih sebagai calon lebih
karena memiliki ekonomi yang mapan. Bagaimana tidak, seorang calon setidaknya
harus memiliki minimal uang ratusan juta rupiah untuk maju sebagai calon DPRD
atau Bupati. Itupun kalau dia tidak melakukan manuver-manuver politik
berlebihan. Bahkan rakyat tidak perlu faham keseharian dan karakter sang calon.
Terkadang seseorang dikenal bukan lantaran perbuatan baik yang pernah dia
lakukan, namun karena media selalu mengangkatnya, yang bisa jadi hanya
pencitraan belaka.
Maka dapat dikatakan,
desentralisasi dengan realitasnya justru meninakbobokkan kesadaran
(rasionalitas) akan makna ideal demokrasi itu sendiri. Slogan dari rakyat untuk
rakyat hanya berlaku pada tataran nilai. Dalam prakteknya, demokrasi, khususnya
di daerah (kembali) hanya dimonopoli sekelompok orang yang memiliki bergening
position yang mapan secara politis. Sehingga yang menjadi mainstrem di era
desentralisasi saat ini adalah orang tidak lagi memilih pemimpinnya karena
kebutuhan akan pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan, pemimpin yang hadir
karena diminta oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Namun, karena
hasrat atau “libido” akan kebutuhan lain seperti uang dan barang yang dapat
langsung dirasakan. Karena hasrat akan kebutuhan ideal yang dibayangkan
demokrasi telah pupus seiring realitas yang terjadi hari ini.
No comments:
Post a Comment