Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Thursday, March 28, 2013

LIBIDO DESENTRALISASI

 
  Fakta bahwa desentralisasi memberikan perubahan bagi praktek demokrasi, khususnya di tingkat lokal nampaknya tak perlu diragukan. Desentralisasi memberikan keleluasaan bagi rakyat di daerah untuk memilih pemimpinnya sendiri. Desentralisasi juga memberikan keleluasaann bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan demi mengembangkan daerahnya sendiri. Namun, bahwa desentralisasi membawa efek kejenuhan bagi rakyat di daerah juga menjadi kenyataan yang tak dapat dipungkiri.
  Kejenuhan itu bukan lantaran tidak dapat memilih pemimpin secara langsung di daerah. Atau karena porsi partisipasi politik yang dimiliki rakyat di daerah. Namun lebih pada aspek perubahan dari janji-janji politik, dari sekian banyak pemimpin yang telah mereka pilih secara langsung, yang tak kunjung jadi kenyataan.
  Idealnya, praktek desentralisasi memberikan banyak pendidikan politik bagi rakyat ditingkat lokal, karena porsi pemerintahan yang cukup besar dimiliki oleh pemerintah daerah otonom. Kesempatan yang tidak didapatkan di era orde baru. Dimana partisipasi politik rakyat bisa dikatakan sangat memprihatinkan (semua aspek kembali ke pusat, termasuk diantaranya pendapatan asli daerah (PAD), pendistribusiannya ditentukan oleh pemerintah pusat, yang terkadang tidak kembali ke daerah. Itulah kenapa kebijakan yang ditentukan pusat terkadang jauh dari apa yang diharapkan rakyat di daerah. Karena kebijakan diambil secara sepihak dan satu arah). Sehingga dapat dikataan, era reformasi adalah euforia karena terbebas dari kungkungan demokrasi satu arah tersebut.
  Setelah 32 tahun demokrasi berlangsung dengan tanpa kontrol. Keadilan dan kesejahteraan hanya berputar pada sekelompok orang yang dari awal telah memiliki bergening position massif secara politik. Maka di era reformasi perubahan ke arah perbaikan mulai menampakan diri, ditandai dengan perkembangan praktek berdemokrasi. Otonomi daerah (otoda) adalah salah satu dari buah reformasi tersebut. Pusat membagi kewenangannya dengan daerah. Bahkan setiap daerah otonom diberikan keleluasaan untuk mengelola anggarannya sendiri, tanpa campur tangan pusat.
  Disatu sisi desentralisasi memberikan pendidikan politik di masyarakat, karena partisipasi politik yang rakyat miliki semakin meningkat di era ini. bahkan sangat memungkinkan rakyat turut serta dalam menentukan baik buruknya daerah secara langsung.
  Desentralisasi juga dikenal sebagai pemisahaan kekuasaan antara pusat dan daerah. Kekuasaan daerah untuk mengembangkan daerahnya sendiri memiliki porsi yang cukup besar di era ini. Karena pusat membatasi kekuasaannya hanya dalam beberapa poin saja. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 Butir 7 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dipertegas pada Pasal 2 ayat 2 PP No.38 Tahun 2007, bahwa kekuasaan pemerintah pusat meliputi:
1.              Politik luar negeri
2.              Pertahanan
3.              Keamanan
4.              Yustisi
5.              Moneter dan fiskal nasional, dan
6.              Agama
  Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dijelaskan pada Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 32 tahun 2004 jo Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 38 tahun 2007.
  Berdasarkan pasal 10 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004, pemerintahan daerah diberikan otonomi yang seluas luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan asas otonomi.
  Namun, tidak sedikit yang melihat perkembangan demokrasi lokal ini melampuai realitas yang dibayangkan para pemikir demokrasi sebelumnya. Bahwa desentralisasi menciptakan rakyat yang dengan sadar memilih pemimpinnya. Aktor-aktor politik yang menduduki jabatan politik adalah mereka yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.
  Realitas politik justru menunjukkan gejala lain. Rakyat terlena dengan sistem politik yang berlangsung di daerah. Pemimpin politik lebih banyak yang lupa akan tugas dan kewajibannya. Sedangkan saat menjelang pilkada mereka (calon-calon pemimpin) berjubel dan menghiba suara rakyat, dengan berbagai program yang mereka tawarkan untuk rakyat.
  Parahnya lagi, rakyat memilih terkadang lebih karena dorongan lain (uang atau barang), bukan atas kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang dapat membawa perubahan positif. Sedangkan politik uang atau barang justru akan menjadikan rakyat berfikir pragmatis. Ada uang ada suara. Siapa yang memberikan lebih banyak kesanalah suara diberikan.
  Sistem politik yang berlaku menelorkan calon-calon pemimpin yang tidak layak. Mereka terpilih sebagai calon lebih karena memiliki ekonomi yang mapan. Bagaimana tidak, seorang calon setidaknya harus memiliki minimal uang ratusan juta rupiah untuk maju sebagai calon DPRD atau Bupati. Itupun kalau dia tidak melakukan manuver-manuver politik berlebihan. Bahkan rakyat tidak perlu faham keseharian dan karakter sang calon. Terkadang seseorang dikenal bukan lantaran perbuatan baik yang pernah dia lakukan, namun karena media selalu mengangkatnya, yang bisa jadi hanya pencitraan belaka.
  Maka dapat dikatakan, desentralisasi dengan realitasnya justru meninakbobokkan kesadaran (rasionalitas) akan makna ideal demokrasi itu sendiri. Slogan dari rakyat untuk rakyat hanya berlaku pada tataran nilai. Dalam prakteknya, demokrasi, khususnya di daerah (kembali) hanya dimonopoli sekelompok orang yang memiliki bergening position yang mapan secara politis. Sehingga yang menjadi mainstrem di era desentralisasi saat ini adalah orang tidak lagi memilih pemimpinnya karena kebutuhan akan pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan, pemimpin yang hadir karena diminta oleh rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Namun, karena hasrat atau “libido” akan kebutuhan lain seperti uang dan barang yang dapat langsung dirasakan. Karena hasrat akan kebutuhan ideal yang dibayangkan demokrasi telah pupus seiring realitas yang terjadi hari ini.

No comments:

Post a Comment