Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Friday, September 17, 2010

Memaknai “Berkah” RAMADHAN

Sejatinya bulan Ramadhan adalah bulan penuh Berkah dan Rahmat, begitu ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. Namun, dalam realitasnya Ramadhan juga menjadikan sebagian masyarakat termarginalkan dan semakin merasa minder sebagai bagian dari orang muslim. Kenapa, karena oleh kebanyakan orang, Ramadhan sering dimaknai sebagai bulan pergantian baju baru, celana baru, penampilan baru dan makanan serba enak yang kadang ada karena dipaksakan.
Ramadhan kali ini, di media kita banyak diberitakan tentang “berkah” dari bulan Ramadhan, yaitu dengan beberapa keluarga kurang mampu yang mendapatkan rumah gratis. Dari pantauan penulis saja, lebih dari tiga rumah sudah menjadi milik warga yang tergolong kurang mampu di Makassar. Seolah-olah, seruan agama untuk membantu fakir miskin di bulan suci inilah tepatnya. Terlepas dari siapa yang mengadakan program rumah “berkah” tersebut, kita disuguhi cerminan masyarakat Islam yang tidak pernah lepas dengan karakter miskin yang selalu butuh bantuan. Mulai dari “bedah rumah,” rumah “berkah”, “minta tolong,” dan masih banyak informasi dari media kita tentang karakteristik bangsa ini yang menegaskan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang identik dengan bantuan.
Mungkin, bisa juga dikatakan bahwa tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya mendapat ‘diskon’ dengan datangnya bulan suci Ramadhan. Karena banyaknya orang-orang kaya yang mendermakan sebagian hartanya pada fakir miskin yang ada di daerah ini. Namun, seperti itukah gambaran “berkah” yang dikabarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis?
Sementara, gap yang menjulang antara si kaya dan si miskin juga semakin riskan, karena diprakarsai oleh orang muslim sendiri. Seakan-akan, memperkuat adanya sunnatullah tentang keberadaan orang kaya dan miskin, sehingga orang kaya berhak menikmati kekayaannya dan membelanjakan kekayaannya semau mereka, terlepas dari halal haramnya harta tersebut. Ironisnya banyak orang kaya yang lupa diri, bahwa keberadaan mereka di muka bumi adalah cerminan dari keberadaan orang miskin disekitarnya. Dalam arti lain, orang kaya ada karena adanya orang miskin, karena keberadaan orang kaya adalah untuk membantu mereka yang kekurangan.
Lapar
Beberapa hari lalu saya diberikan anekdot oleh teman saya, yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan kata-kata yang sering sekali dikeluarkan oleh para Ustadz, Guru dan Khotib adalah kata-kata lapar dan fakir miskin. Sambil tersenyum saya berfikir bahwa benar juga apa yang dikatakannya. Pertanyaannya, dimana kata-kata itu saat bulan-bulan selain bulan Ramadhan? Kenapa di luar bulan Ramadhan, issu lapar sering tenggelam. Justru yang banyak terjadi, tiba-tiba kita disuguhi informasi tentang busung lapar, atau tentang meninggalnya seorang warga karena terbelit masalah ekonomi dan lain sebagainya.
Anehnya lagi, di bulan suci Ramadhanlah kita di ajak untuk bisa menangis melihat kondisi warga disekitar kita yang tidak bisa makan, tidak bisa minum, jauh dari kondisi kita. Tak jarang pula seseorang yang dulunya acuh dengan kondisi masyarakat disekitarnya, secepat kilat, di bulan suci Ramadhan menjadi orang paling ‘Shaleh’, berkostum layaknya ustadz, lengkap dengan baju koko, kopiyah dan sarungnya, bahkan seolah-oleh paling dermawan diantara muslim yang lain.
Kemiskinan dan kelaparan tidak akan hilang begitu saja dengan hadirnya bulan Ramadhan. Kemiskinan dan kelaparan hanya bisa diatasi apabila semua element dan setiap manusia sadar akan tanggung jawabnya sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi. Kemiskinan dan kelaparan akan terus menjamur di sekitar kita, apabila pemerintah tetap memihak kepada pemodal dan investor, tanpa diimbangi keberpihakannya terhadap warga masyarakatnya yang tidak memiliki tempat tinggal, kesulitan mencari kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagainya. Kemiskinan dan kelaparan juga akan semakin berkembang apabila setiap orang selalu mengedepankan sikap aji mumpung (mumpung ada kesempatan) dan tidak sadar diri, sadar akan hukum, sadar akan norma, sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Sikap aji mumpung inilah yang banyak menelan korban dibanyak sisi kehidupan kita. Berapa banyak uang rakyat yang telah di jarah oleh orang-orang yang menerapkan sikap aji mumpung di negeri ini. Berapa banyak hak-hak warga Negara yang sudah dilanggar oleh orang-orang yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya karena ada kesempatan??? Kemiskinan dan kelaparan akan terus bertambah apabila manusia tidak memaksimalkan fungsinya sebagai khalifah, minimal bagi dirinya sendiri.
Salah kaprah
Saat kita mengelu-elukan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, disatu sisi kita menampilkan budaya yang salah kaprah dalam ibadah puasa kita. Saat kita membagi-bagikan sedekah dan zakat, disaat yang sama, dan di “hari kemenangan”, yaitu di akhir bulan Ramadhan kita menampilkan budaya glamour, ganti kostum, ganti penampilan, bahkan kalau perlu ganti rumah. Lalu, apa yang berganti pada kaum fakir miskin di sekitar kita? Tidak ada, yang ada justru mereka merintih dan menangis, menatap sebuah peradaban muslim yang telah kembali dari perjalanan yang berorientasi akhirat, dan kemudian tersadar, hidup kembali di kehidupan dunia yang penuh dengan persaingan. Bagi para kaum miskin disekitar kita, adalah berarti kembali kepada kehidupan yang serba sulit dan minim sedekah.
Saya sepakat apabila Ramadhan dikatakan sebagai bulan penuh berkah. Namun, berkah tersebut adalah berkah yang dinamis, bukan statis, berhenti ketika Ramadhan telah berganti dengan bulan Syawal. Namun, Saya juga tidak sepakat apabila moment bulan Ramadhan dimaknai sebagai bulan pergantian kostum apatalagi merubah penampilan. Kalau hal tersebut dimaknai sebagai penghormatan terhadap bulan Ramadhan dan “hari kemenangan,” boleh-boleh saja. Namun kebanyakan, puasa oleh sebagian orang dijadikan sebagai momentum untuk menjadi lebih konsumtif. Saat sahur dan buka misalnya, seakan-akan wajib hukumnya kita mengkonsumsi makanan yang jauh lebih enak dari biasanya. Seharusnya puasa menjadi momentum untuk instropeksi diri, bukan momentum untuk berfoya-foya dan memanjakan diri.
Kemuliaan bulan Ramadhan tidak akan pernah berkurang, bahkan apabila umat muslim tidak melakukan ibadah puasa sekalipun. Namun, orang yang tidak menghayati dari lapar dan dahaga yang dirasakannya saat berpuasa, justru hal tersebut akan membuat kita tidak mendapatkan berkah puasa. Karena, diwajibkannya puasa kepada umat muslim adalah untuk menjadikan umat muslim semakin bertaqwa, bertaqwa dalam arti semakin memaksimalkan usaha untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah.
Korelasi antara Taqwa dengan perintah puasa adalah agar umat muslim semakin tergerak hati untuk membantu fakir miskin, mengangkat derajat kaum mustadzafin dan juga mendermakan sebagian harta ke jalan Allah. Bahkan Ibadah-ibadah lain yang dilaksanakan di bulan suci Ramadhan akan mendapatkan pahala berlipat dari Allah. Begitupun sebaliknya, semakin kita acuh dengan kemiskinan dan kelaparan yang ada disekitar kita apalagi dibulan Ramadhan, padahal kita tergolong orang-orang yang mampu secara ekonomi, dosanya pun akan semakin berlipat ganda.
Itulah kenapa saat bulan suci Ramadhan, syetan-syetan di belenggu oleh Allah, tak lain adalah agar tidak mengganggu kekhusyu’an kita saat berpuasa, agar kita semakin mendalami makna dan hakekat puasa itu sendiri, yaitu mendekatkan kita pada fakir miskin disekitar kita, membantu mereka, mengangkat mereka dari kesulitan yang mereka alami.
Keberkahan puasa di ukur dari seberapa besar pengaruh puasa terhadap perilaku kita di luar bulan suci Ramadhan. Sedekah dan zakat adalah perumpamaan bagi kita, bahwa se kaya dan se miskin apapun kita, ada sebuah keharusan bagi kita untuk membantu mereka yang kekurangan.
Mereka yang “menang” adalah orang yang telah melewati segala bentuk cobaan dan godaan syetan saat puasa, keshalehan dan kedermawanan mereka berlanjut dibulan-bulan setelah bulan Ramadhan, selalu tergerak untuk membantu yang kekurangan, itulah sejatinya yang dimaksud berkah Ramadhan. Wallahua’lam…

No comments:

Post a Comment