Selalu menarik, mungkin
itulah kata yang tepat untuk menggambarkan panggung pemilu yang sedianya
digunakan sebagai momentum memilih Bupati, Gubernur, Presiden dan juga DPR.
Betapa tidak, banyak sekali perangkat pemilu yang selalu menyita perhatian
kita. Mulai dari aturan, calon, kendaraan, penyelenggara, tim sukses dan
masyarakat (pemilih), yang dari pemilu ke pemilu menunjukkan fenomena yang selalu
berubah, namun dapat dikatakan perubahan tersebut berada pada ruang yang sama.
Perjuangan
berat kita hari ini bukan lagi mengajak masyarakat untuk melek pemilu. Bukan
lagi soal mengajak masyarakat datang ke bilik suara. Hampir setiap masyarakat
hari ini tau persis apa itu pemilu, dan kapan waktu datang ke bilik suara,
tentu diluar dari masyarakat yang masuk dalam kategori pemiih pemula. Namun yang
ingin saya katakan, masih rendahnya angka partisipasi pemilih dari pemilu ke
pemilu bukan an sich persoalan
sosialisasi yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya, namun juga karena factor lain,
termasuk calon, partai politik dan juga peraturan yang melingkupi, yang dari
pemilu ke pemilu selalu berubah.
Dari
pengalaman KPU yang sudah bertahun-tahun menggeluti partisipasi pemilih, mereka
sebetulnya tidak terlalu terbabani untuk mengenalkan masyarakat tentang pemilu,
apalagi hari ini banyak tim sukses yang siap sedia menjemput, menghadirkan
calon pemilih pada suatu lokasi yang disebut kampanye. Kampanye hari ini tidak
hanya kampanye akbar dilokasi strategis dengan bendera, spanduk dan baliho.
Hari ini calon diberikan keleluasaan untuk datang ke rumah penduduk, menemui
kelompok dan komunitas, dengan jumlah yang terbatas. Terlebih lagi mobilisasi
pemilih pun dalam UU yang kita gunakan hari ini bukan suatu yang haram. Maka
dapat dikatakan bukan sebuah persoalan yang krusial bagi KPU untuk
mensosialisasikan pemilih untuk datang ke TPS. Terlebih lagi, dari pandangan
penulis, yang dapat mendongkrak partisipasi pemilih adalah juga calon sendiri.
Yang
jadi persoalan sebenarnya adalah perjuangan untuk mengikis dan meniadakan
politik uang. Semangat boleh sama, tapi perlakuan berbeda. Itulah kira-kira
yang membedakan kelompok yang berada di
luar gedung DPR dan yang ada di dalam gedung DPR hari ini. Singkatnya, revisi
UU Pilkada yang belum lama ini diketuk palu melegalkan uang transport dan makan
minum sebagai bagian dari cos politik. Dari siaran TV beberapa waktu lalu,
Lukman Edy yang juga wakil ketua komisi II DPR RI mengatakan, hal ini sebenarnya juga
harus dimaknai sebagai bagian dari semangat memerangi politik uang, disinilah
perlu kriteria dan batasan uang makan minum dan transport tersebut di atur oleh
PKPU dan Perbawaslu, katanya di layar Metro TV. Ironisnya, KPU sendiri tidak
pernah dilibatkan dalam pembahasan perubahan UU No.15 tahun 2015 ini. Maka
menjadi wajar, bila Jimli Assidiqi, yang juga ketua Badan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu mengatakan, bahwa UU ini terkesan terburu-buru diketuk
palu.
Semangat
menumpas politik uang rasanya tidak menjadi bagian integral bagi anggota dewan
kita. Sayangnya, mau tidak mau aturan yang mereka keluarkanlah yang harus dipedomani.
Pasal 73 UU No.8 tahun 2015 yang dalam pemilu kemarin menuai banyak sorotan,
akhirnya dirubah. Pun demikian perubahannya tidak serta merta memuaskan banyak
pihak. Beberapa pasalnya masih menyisakan samaritas, seperti persoalan uang
makan minum dan transport tersebut yang kriterianya akan dituangkan dalam
peraturan KPU ataupun Perbawaslu.
Tentu
saja saya lebih tertarik dengan pernyataan Direktur Perludem di depan Lukman
Edy pada acara yang di tayangkan Televisi beberapa waktu yang lalu itu. Titi
Anggraeni mengatakan, bahwa hal ini menunjukkan samangat anggota dewan kita
untuk tetap melegalkan dan memberikan kelonggaran terhadap praktik politik uang
dalam pemilu masih saja ada dalam tanda kutip. Bila semangat tersebut sama, dan
keinginan untuk adanya pemilu yang bebas dari politik uang, tak usahlah ada
legalitas yang diberikan undang-undang. Karena menurutnya, akan sangat sulit
mengukur besaran uang transport dan uang makan minum saat kampanye berlangsung,
terlebih daerah dan perilaku masyarakat kita yang berbeda-beda, walaupun hal
tersebut mungkin akan di atur dalam PKPU maupun Perbawaslu.
Disatu
sisi apresiasi yang besar terkait adanya ketentuan pidana terhadap praktek money
politik dalam UU revisi ini. Sehingga pelanggaran terhadap money politik tidak
lagi mandeg dan menjadi sorotan sebagaimana pemilu sebelumnya (bagaimana tidak
mandeg, pasal larangannya ada, namun aturan sanksinya tidak ada).
Seyogianya
aturan tegak lurus, aplikatif dan mengikat, tidak dapat dikikis oleh apapun dan
siapapun. Namun begitu dalam menegakkan aturan tersebutlah persoalan
sebenarnya. Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu; didalamnya ada unsur
Bawaslu/Panwas, Kepolisian dan Kejaksaan) yang oleh banyak kalangan juga selalu
dipertanyakan keberadaannya, namun disatu sisi memberikan prinsip kebersamaan
juga kehati-hatian untuk menerjemahkan dan menjelaskan persoalan pidana yang
ada saat momentum pemilu.
No comments:
Post a Comment