Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Thursday, August 4, 2011

Berharap Kesejahteraan dari Kerusakan Sumber Daya Alam di Pangkep


Tak sedikit masyarakat yang berasumsi bahwa seburuk-buruknya orde baru, namun ada stabilitas politik, ekonomi, dan Indonesia menjadi negara yang sangat dihormati oleh negara lain. Sekarang, Malaysia sebagai negara yang pernah “belajar” pada bangsa Indonesia, sudah beberapa kali “menghina” kita dengan mengklaim beberapa dari kebudayaan kita. kemudian, yang paling memilukan, belum lama ini Malaysia merebut Ambalat dari kedaulatan Indonesia.
Setelah reformasi, kesejahteraanpun tak kunjung datang, masyarakat justru semakin bingung, karena penderitaan tidak juga berujung. Disatu sisi masyarakat disuguhkan praktek-praktek dari elit politik korup di negeri ini yang bergelimang materi, dan kebal. Kebal dari hukum, kebal dari norma-norma sosial yang sejak lama dianut oleh masyarakat. Ironisnya hukum menjadi sangat kaku bila berhadapan dengan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan.
Reformasi yang menjanjikan sebuah perubahan, tak kunjung memberikan kesejahteraan yang di idam-idamkan. Para aktor dibalik runtuhnya orde baru justru terjebak pada lubang baru. Dengan model dan bentuk yang jauh berbeda, namun subtansinya sama dengan apa yang dikerjakan Soeharto (alm) saat memimpin bangsa ini.
Di satu sisi, demokrasi mulai beranjak dari yang dulunya prosedural kepada yang lebih subtansial. Alih-alih mulai membawa implikasi positif bagi pendidikan politik masyarakat, namun juga dijadikan alat oleh beberapa oknum untuk memperkaya diri. Dengan kata lain, praktek-praktek orde baru tidak semuanya hilang. Justru berkembang dengan model yang lebih dinamis dengan perkembangan pola pikir masyarakat.
12 Tahun sudah reformasi bergulir di negeri ini, namun kesejahteraan yang diidam-idamkan tak juga kunjung datang. Justru masyarakat semakin apatis dengan masalah krusial yang dihadapi bangsa. Mereka sudah memilih, menyalurkan aspirasinya, namun pemimpin yang dia pilih, justru tidak peka dengan kondisi realitas yang menyengsarakan mereka.
Setelah stagnan selama 32 tahun, demokrasi mulai bangkit dari tidak adanya ruang kepada yang lebih bebas. Kepada sedikitnya aspirasi, berkembang menjadi lebih banyak aspirasi. Namun, musrembang yang seyogianya menjadi tumpahan kebutuhan masyarakat ditingkat paling bawah, namun yang menjadi kebijakan pemerintah justru jauh dari kebutuhan tersebut. Meminjam istilah Prof. Haedar, saat memberikan materi dalam Inclass Sekolah Demokrasi Sabtu 04 Juni, bukan kebutuhan yang menjadi prioritas, namun kepentingan.
Setiap orang memimiliki kepentingan, namun sebagai pemerintah yang tugas utamanya mensejahterakan rakyat. Sudah seharusnya mendengar keluhan rakyat dan menjadikannya sebagai sebuah kebutuhan.

Pangkep dan kekayaan sumber daya alam
Begitu juga yang terjadi di Pangkep. Efek dari reformasi juga tidak sedikit, bahkan partisipasi masyarakat dalam menyuarakan hak dan kewajiban semakin kuat. Namun kebijakan yang diberikan oleh pemerintah justru semakin jauh dari kebutuhan umum masyarakat.
Disisi lain, aspirasi juga banyak disalahgunakan. Memang banyak yang mengkritisi kebijakan, banyak yang bersuara mengatasnamakan rakyat, namun jauh dari kepentingan rakyat. Praktek-praktek seperti ini biasanya ditunggangi oleh kepentingan golongan bahkan individu. Sehingga kesejahteraan yang diharapkan bersama, justru hanya dinikmati oleh beberapa golongan saja.
Pangkep sendiri adalah daerah tiga dimensi. Dua pertiga wilayahnya adalah laut. Namun, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru jauh dari masyarakat yang tinggal di kepulauan. Masyarakat pulau di Pangkep lebih banyak bergelimang penderitaan. Hanya mengharapkan sumber daya laut yang semakin lama semakin habis dan rusak.
Banyak oknum dari daratan justru menghilangkan penghasilan masyarakat pulau. Bagaimana tidak, mereka yang memiliki modal menggunakan bom dalam menangkap ikan. Sehingga masyarakat pulau yang kesehariannya menangkap ikan hanya menggunakan jaring biasa, hanya mendapatkan sisa-sisa dari Bom dan jaring pukat harimau (trauwl) yang dimiliki oknum berduit.
Begitu juga masyarakat di pegunungan yang hanya mendapatkan pencemaran akibat banyaknya tambang di Pangkep. Mulai dari tambang semen, marmer, tanah silika, dll. Pencemaran tersebut tidak kalah hebatnya, longsor, banjir, ketiadaan air bersih bahkan debu yang setiap hari harus dihirup masyarakat sekitar tambang.
Gunung dan juga kawasan karst yang juga menjadi kekayakan masyarakat Pangkep semakin habis karena kerakusan para investor. Kongkalikong dengan oknum yang memiliki kewenangan, mengkangkangi peraturan yang telah dibuat untuk mengekang industrialisasi sumber daya alam.
Faktanya, masih banyak perusahaan tambang yang menyalahi izin tambangnya. Banyak perusahaan tambang liar yang mengeksploitasi kekayakan sumber daya alam Pangkep. Di Desa Mangilu dan Tondong adalah bukti akan keliaran perusahaan tambang.
Hasil investigasi beberapa pengurus KKDP (Komite Komunitas Indonesia untuk Demokrasi) menjadi satu bukti nyata akan hal tersebut. Bagaimana tidak, daerah tambang tanah silika di Mangilu hanya menyisakan pencemaran. Jalan-jalan di Desa tersebut menjadi tidak layak pakai. Saat kemarau menjadi debu, saat hujan datang menjadi lumpur yang memaksa orang yang melewatinya harus jalan kaki.
Bukan hanya itu, masyarakat yang dulunya bertempat tinggal dilokasi tersebut, kini harus memindahkan rumahnya atau mengungsi. Saat ini hanya tinggal tiga rumah yang masih bertahan dengan kondisi tidak adanya air bersih dan udara bercampur debu yang setiap hari harus mereka hirup.
Ironisnya, saat dikonfirmasi ke Dinas Pertambangan setempat, mereka tidak mengetahui kondisi tersebut. Sedangkan pengusaha sudah menghabisi gunung dan tanah yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Mangilu.
Bahkan menurut Adi, salah seorang pengurus KKDP menjelaskan. Perusahaan tambang yang seyogianya hanya mengambil tanah silika, kini juga mengambil sesuatu di luar perjanjian. Tanah dan segala kekayaan alam masyarakat Mangilu habis karena kerakusan mereka. Tanah masyarakat hanya dijual 40.000 per truknya. Saat dikonfirmasi kepada masyarakat setempat, kenapa begitu mudah menjual tanah, mereka mengaku tidak punya pilihan. Mau ditinggalipun sudah tidak layak. Karena ketidak adaan air bersih, keretakan tanah dan pencemaran lingkungan akibat tambang.
Sudah selayaknya pemerintah peka terhadap kondisi riel masyarakat Pangkep. Bukan tutup mata dan mengeluarkan kebijakan yang justru jauh dari kebutuhan masyarakat.
Pangkep adalah daerah yang kaya. Kaya akan sumber daya alam yang sesungguhnya dapat menjadikan Pangkep sebagai daerah dengan APBD yang tidak sedikit. Namun, sampai detik ini sumbangsih perusahaan-perusahaan tambang terhadap pemasukan daerah masih selalu menjadi pertanyaan besar.
CSR (Corporate Social Responsibility) yang menjadi kewajiban perusahaan untuk diberikan dalam rangka mensejahterakan masyarakat sekitar tambang juga tidak nampak. Masyarakat yang berada di ring satu Tonasa sebagaimana kelurahan Kalabbirang yang baru tahun ini menikmati aliran listrik setelah sekian tahun Tonasa menghabisi sumber daya alam Pangkep. Lain halnya dengan masyarakat Desa Biringere yang selalu mempertanyakan perihal pegawai Tonasa yang banyak diambil dari luar, khususnya pulau jawa. Bukan memprioritaskan masyarakat Pangkep khususnya masyarakat ring satu.
Ada apa dengan Pangkep. kekayaan alamnya tidak mampu memberikan kesejahteraan lebih bagi masyarakatnya. Adakah jalan keluar, atau masyarakat Pangkep hanya akan menonton sumber daya alamnya habis dan rusak, dengan kesejahteraan yang semakin menjauh dari yang mereka idam-idamkan???

No comments:

Post a Comment