Tak sedikit masyarakat yang
berasumsi bahwa seburuk-buruknya orde baru, namun ada stabilitas politik,
ekonomi, dan Indonesia menjadi negara yang sangat dihormati oleh negara lain.
Sekarang, Malaysia sebagai negara yang pernah “belajar” pada bangsa Indonesia, sudah
beberapa kali “menghina” kita dengan mengklaim beberapa dari kebudayaan kita.
kemudian, yang paling memilukan, belum lama ini Malaysia merebut Ambalat dari
kedaulatan Indonesia.
Setelah reformasi,
kesejahteraanpun tak kunjung datang, masyarakat justru semakin bingung, karena
penderitaan tidak juga berujung. Disatu sisi masyarakat disuguhkan
praktek-praktek dari elit politik korup di negeri ini yang bergelimang materi,
dan kebal. Kebal dari hukum, kebal dari norma-norma sosial yang sejak lama
dianut oleh masyarakat. Ironisnya hukum menjadi sangat kaku bila berhadapan
dengan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan.
Reformasi yang menjanjikan sebuah perubahan, tak kunjung memberikan kesejahteraan yang di idam-idamkan. Para aktor dibalik runtuhnya orde baru justru terjebak pada lubang baru. Dengan model dan bentuk yang jauh berbeda, namun subtansinya sama dengan apa yang dikerjakan Soeharto (alm) saat memimpin bangsa ini.
Reformasi yang menjanjikan sebuah perubahan, tak kunjung memberikan kesejahteraan yang di idam-idamkan. Para aktor dibalik runtuhnya orde baru justru terjebak pada lubang baru. Dengan model dan bentuk yang jauh berbeda, namun subtansinya sama dengan apa yang dikerjakan Soeharto (alm) saat memimpin bangsa ini.
Di satu sisi, demokrasi mulai
beranjak dari yang dulunya prosedural kepada yang lebih subtansial. Alih-alih
mulai membawa implikasi positif bagi pendidikan politik masyarakat, namun juga
dijadikan alat oleh beberapa oknum untuk memperkaya diri. Dengan kata lain,
praktek-praktek orde baru tidak semuanya hilang. Justru berkembang dengan model
yang lebih dinamis dengan perkembangan pola pikir masyarakat.
12 Tahun sudah reformasi bergulir
di negeri ini, namun kesejahteraan yang diidam-idamkan tak juga kunjung datang.
Justru masyarakat semakin apatis dengan masalah krusial yang dihadapi bangsa.
Mereka sudah memilih, menyalurkan aspirasinya, namun pemimpin yang dia pilih,
justru tidak peka dengan kondisi realitas yang menyengsarakan mereka.
Setelah stagnan selama 32 tahun,
demokrasi mulai bangkit dari tidak adanya ruang kepada yang lebih bebas. Kepada
sedikitnya aspirasi, berkembang menjadi lebih banyak aspirasi. Namun,
musrembang yang seyogianya menjadi tumpahan kebutuhan masyarakat ditingkat
paling bawah, namun yang menjadi kebijakan pemerintah justru jauh dari
kebutuhan tersebut. Meminjam istilah Prof. Haedar, saat memberikan materi dalam
Inclass Sekolah Demokrasi Sabtu 04 Juni, bukan kebutuhan yang menjadi prioritas,
namun kepentingan.
Setiap orang memimiliki
kepentingan, namun sebagai pemerintah yang tugas utamanya mensejahterakan
rakyat. Sudah seharusnya mendengar keluhan rakyat dan menjadikannya sebagai
sebuah kebutuhan.
Pangkep dan kekayaan sumber daya alam
Begitu juga yang terjadi di
Pangkep. Efek dari reformasi juga tidak sedikit, bahkan partisipasi masyarakat
dalam menyuarakan hak dan kewajiban semakin kuat. Namun kebijakan yang
diberikan oleh pemerintah justru semakin jauh dari kebutuhan umum masyarakat.
Disisi lain, aspirasi juga banyak
disalahgunakan. Memang banyak yang mengkritisi kebijakan, banyak yang bersuara
mengatasnamakan rakyat, namun jauh dari kepentingan rakyat. Praktek-praktek seperti
ini biasanya ditunggangi oleh kepentingan golongan bahkan individu. Sehingga
kesejahteraan yang diharapkan bersama, justru hanya dinikmati oleh beberapa
golongan saja.
Pangkep sendiri adalah daerah
tiga dimensi. Dua pertiga wilayahnya adalah laut. Namun, kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah justru jauh dari masyarakat yang tinggal di kepulauan.
Masyarakat pulau di Pangkep lebih banyak bergelimang penderitaan. Hanya mengharapkan
sumber daya laut yang semakin lama semakin habis dan rusak.
Banyak oknum dari daratan justru
menghilangkan penghasilan masyarakat pulau. Bagaimana tidak, mereka yang
memiliki modal menggunakan bom dalam menangkap ikan. Sehingga masyarakat pulau
yang kesehariannya menangkap ikan hanya menggunakan jaring biasa, hanya mendapatkan
sisa-sisa dari Bom dan jaring pukat harimau (trauwl) yang dimiliki oknum
berduit.
Begitu juga masyarakat di
pegunungan yang hanya mendapatkan pencemaran akibat banyaknya tambang di
Pangkep. Mulai dari tambang semen, marmer, tanah silika, dll. Pencemaran
tersebut tidak kalah hebatnya, longsor, banjir, ketiadaan air bersih bahkan
debu yang setiap hari harus dihirup masyarakat sekitar tambang.
Gunung dan juga kawasan karst
yang juga menjadi kekayakan masyarakat Pangkep semakin habis karena kerakusan
para investor. Kongkalikong dengan oknum yang memiliki kewenangan, mengkangkangi
peraturan yang telah dibuat untuk mengekang industrialisasi sumber daya alam.
Faktanya, masih banyak perusahaan
tambang yang menyalahi izin tambangnya. Banyak perusahaan tambang liar yang
mengeksploitasi kekayakan sumber daya alam Pangkep. Di Desa Mangilu dan Tondong
adalah bukti akan keliaran perusahaan tambang.
Hasil investigasi beberapa
pengurus KKDP (Komite Komunitas Indonesia untuk Demokrasi) menjadi satu bukti
nyata akan hal tersebut. Bagaimana tidak, daerah tambang tanah silika di
Mangilu hanya menyisakan pencemaran. Jalan-jalan di Desa tersebut menjadi tidak
layak pakai. Saat kemarau menjadi debu, saat hujan datang menjadi lumpur yang memaksa
orang yang melewatinya harus jalan kaki.
Bukan hanya itu, masyarakat yang
dulunya bertempat tinggal dilokasi tersebut, kini harus memindahkan rumahnya
atau mengungsi. Saat ini hanya tinggal tiga rumah yang masih bertahan dengan
kondisi tidak adanya air bersih dan udara bercampur debu yang setiap hari harus
mereka hirup.
Ironisnya, saat dikonfirmasi ke
Dinas Pertambangan setempat, mereka tidak mengetahui kondisi tersebut.
Sedangkan pengusaha sudah menghabisi gunung dan tanah yang seharusnya dinikmati
oleh masyarakat Mangilu.
Bahkan menurut Adi, salah seorang
pengurus KKDP menjelaskan. Perusahaan tambang yang seyogianya hanya mengambil
tanah silika, kini juga mengambil sesuatu di luar perjanjian. Tanah dan segala
kekayaan alam masyarakat Mangilu habis karena kerakusan mereka. Tanah masyarakat
hanya dijual 40.000 per truknya. Saat dikonfirmasi kepada masyarakat setempat, kenapa
begitu mudah menjual tanah, mereka mengaku tidak punya pilihan. Mau ditinggalipun
sudah tidak layak. Karena ketidak adaan air bersih, keretakan tanah dan
pencemaran lingkungan akibat tambang.
Sudah selayaknya pemerintah peka
terhadap kondisi riel masyarakat Pangkep. Bukan tutup mata dan mengeluarkan
kebijakan yang justru jauh dari kebutuhan masyarakat.
Pangkep adalah daerah yang kaya.
Kaya akan sumber daya alam yang sesungguhnya dapat menjadikan Pangkep sebagai
daerah dengan APBD yang tidak sedikit. Namun, sampai detik ini sumbangsih
perusahaan-perusahaan tambang terhadap pemasukan daerah masih selalu menjadi
pertanyaan besar.
CSR (Corporate Social
Responsibility) yang menjadi kewajiban perusahaan untuk diberikan dalam rangka
mensejahterakan masyarakat sekitar tambang juga tidak nampak. Masyarakat yang
berada di ring satu Tonasa sebagaimana kelurahan Kalabbirang yang baru tahun
ini menikmati aliran listrik setelah sekian tahun Tonasa menghabisi sumber daya
alam Pangkep. Lain halnya dengan masyarakat Desa Biringere yang selalu
mempertanyakan perihal pegawai Tonasa yang banyak diambil dari luar, khususnya
pulau jawa. Bukan memprioritaskan masyarakat Pangkep khususnya masyarakat ring
satu.
Ada apa dengan Pangkep. kekayaan
alamnya tidak mampu memberikan kesejahteraan lebih bagi masyarakatnya. Adakah
jalan keluar, atau masyarakat Pangkep hanya akan menonton sumber daya alamnya
habis dan rusak, dengan kesejahteraan yang semakin menjauh dari yang mereka idam-idamkan???
No comments:
Post a Comment