Tesis tentang kembali lebih
banyak pada kasus dan persoalan yang penuh misteri. Tidak ada yang tau apa yang
terjadi setelah kita kembali. Apa benar yang kita rencanakan terjadi sesuai
persis ketika kita kembali. Bisa jadi, kenyataan berbanding terbalik dengan apa
yang telah kita angan-angankan sesampainya kita kembali.
Indahnya kembali. Ketika raga
dalam waktu yang cukup lama pergi meninggalkan orang terkasih, di balut rindu yang
menggebu, kembali merupakan satu kata yang sangat indah dan dinanti. Nikmatnya
kembali. Ketika istri menunggu di rumah, dengan makanan kesukaan kita untuk
disantap, si kecil menanti kita untuk bersenda gurau, kopi spesial pun menanti
di atas meja. Pada situasi dimana hal semacam ini terjadi persis seperti yang
diinginkan, kembali menunjuk pada situasi yang menguntukan.
Namun, tidak serta merta kembali itu
menguntungkan, indah dan juga nikmat. Tidak bagi Yuyun, gadis kelas dua SMP di
Bengkulu, yang bermaksud kembali ke rumah sepulang dari sekolah. Yuyun
ditemukan beberapa hari setelahnya dalam keadaan tidak bernyawa. Tangan Yuyun
terikat dan baju sekolah yang dikenakan Yuyun pun hampir semua lepas. Dari
informasi awak media, di tengah jalan pulang, saat Yuyun hendak kembali ke
rumahnya, dia di gagahi oleh 14 lelaki, lebih tepatnya remaja, yang juga ada di
antaranya adalah kakak kelasnya yang ikut menggilir si gadis tak berdosa
tersebut.
Kisah kasus Yuyun Mei 2016 lalu mengoyak kita, mengoyak nurani kita. Semakin berat rasanya menjaga diri ditengah derasnya tehnologi yang kian canggih. Menanggapi sorotan dan desakan banyak pihak akhirnya pemerintah mengesahkan Perpu No.1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan ini melegalkan hukuman kebiri kimia sebagai pemberatan atau penambahan hukuman bagi setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan saat memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia.
Kisah kasus Yuyun Mei 2016 lalu mengoyak kita, mengoyak nurani kita. Semakin berat rasanya menjaga diri ditengah derasnya tehnologi yang kian canggih. Menanggapi sorotan dan desakan banyak pihak akhirnya pemerintah mengesahkan Perpu No.1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan ini melegalkan hukuman kebiri kimia sebagai pemberatan atau penambahan hukuman bagi setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan saat memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia.
Membicarakan kembali kasus
Yuyun menjadikan nurani kita merintih. Walaupun tak sedikit perempuan-perempuan lain yang mengalami kasus seperti Yuyun yang mungkin luput dari pantauan kita. Maka kembali pada konteks ini lebih tepat bila
disebut sebagai “Kronis”. Kronis berarti tidak hanya pemerintah yang harus
menanggung beban memperbaiki situasi dimana anak muda tidak lagi hanya tinggal
di rumah. Dimana nyaris tidak ada lagi anak muda yang tidak memiliki handphone.
Dimana informasi menyebar bebas dan luas dimanapun kita berada. Informasi dapat
kita akses sekalipun diruang sempit seperti saat kita duduk di atas kloset.
Juga tidak mungkin kita kembali
ke zaman dimana tidak ada tehnologi. Tidak mungkin kita kembali pada situasi
dimana anak remaja hanya tinggal di rumah, membantu ibu di dapur, membantu
bapak di ladang. Yang mungkin adalah, kembali dalam arti melihat apa yang sudah
kita lakukan untuk keluarga kita. Melihat kembali apa yang sudah kita ajarkan
untuk generasi kita. Melihat seberapa besar nilai positif yang kita sebarkan
untuk keluarga dan lingkungan kita dibanding pengaruh negative yang bisa datang
dari mana saja. Seberapa sering dan lama durasi kita berasama anak-anak kita dan mengajari mereka banyak hal? Mulailah untuk kembali peduli dengan genarasi penerus kita.
No comments:
Post a Comment