Pasang surut perjalanan
demokrasi di Indonesia menyisakan tanda tanya besar bagi kita. Seperti apakah
demokrasi ditahun-tahun mendatang, saat anak dan cucu kita menggantikan hidup kita
dalam hiruk pikuk ketidakpastian.
Perjalanan panjang
demokrasi di Indonesia boleh dikata telah membawa banyak perubahan pola pikir
dan tingkah laku para penguasa. Saat Soekarno memimpin negeri ini, Soekarno
mencoba membangunnya dengan menanggalkan segala bentuk intervensi dari luar.
Namun begitu pemerintahan diambil alih oleh Soeharto, donatur asing ramai-ramai
memberikan bantuan yang tak lain adalah hutang kepada bangsa Indonesia.
Setelah rezim orde baru
tumbang, ditandai dengan masuknya era reformasi, arah laju pembangunan di
Indonesia kian membingungkan kita. Dengan nada miris, sesungguhnya masyarakat
hendak bertanya, katanya hendak menuju demokrasi subtansial, menuju demokrasi
yang memberikan kesejahteraan bagi semua, tapi yang terjadi justru banyak uang
rakyat yang dimonopoli dan dikorupsi para penguasa.
Disisi lain penguasa kita kian tidak memihak rakyat. Hal tersebut tak lepas dari warisan rezim orde baru saat masih berkuasa. Bahkan boleh dikata, warisan tersebut layaknya hutang, telah mengekang segala bentuk kebijakan yang berorientasi kesejahteraan rakyat.
Terlebih lagi
praktek-praktek orba juga tidak semuanya hilang, bahkan kian terasa ditunjukkan
oleh para penguasa di negeri ini. Dengan ciri khasnya dan modelnya
masing-masing, namun tetap saja belum mampu menunjukkan tujuan ideal dari
reformasi yang telah menelan banyak korban.Disisi lain penguasa kita kian tidak memihak rakyat. Hal tersebut tak lepas dari warisan rezim orde baru saat masih berkuasa. Bahkan boleh dikata, warisan tersebut layaknya hutang, telah mengekang segala bentuk kebijakan yang berorientasi kesejahteraan rakyat.
Boleh dikata, bahwa
reformasi yang diagung-agungkan sebagai bagian dari bentuk penggulingan praktek
ketidak adilan hanya sesumbar actor yang belum mampu menatap perubahan riel. Reformasi
terkesan jalan ditempat, karena tidak diiringi dengan konsep ideal untuk
membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih baik.
Mau tidak mau kini kita
telah berada dalam era reformasi, era keterbukaan, era kebebasan, atau yang
akrab kita sebut sebagai era transparansi dan akuntabilitas. Segala macam
layanan public dan aturan yang dibuat penguasa kini mutlak harus juga diketahui
oleh public. Segala hal yang terkait dengan kebutuhan dan keluhan masyarakat
ditingkat bawah dengan sangat mudah disuarakan dan dijamin kebebasannya untuk
disampaikan.
Namun, akhir-akhir ini
penguasa kita lagi-lagi menunjukkan ketidakmampuannya. Penguasa kita kini kebal
terhadap kritikan dan masukan. Masukan dan kritikan yang diberikan dan
disuarakan layaknya alunan lagu yang hanya untuk didengar dan bukan untuk
direalisasikan dalam bentuk kebijakan.
Namun begitu, setiap
penguasa memiliki karakter berbeda dalam menerima segala masukan dan kritikan.
Bahkan akhir-akhir ini penguasa sengaja mengadu domba aparatusnya atau
anak-anak asuhnya untuk mengkonfrontir masyarakat lainnya yang terkesan kritis
dan focus pada pengembangan demokratisasi di dalam negeri.
Seabad yang lalu
Durkheim mencetuskan teorinya tentang pembagian kerja. Dimana manusia menurut
Durkheim cenderung mencari keteraturan (sosial order), sehingga manusia
cenderung tidak bebas, dipengaruhi oleh fakta sosial, berupa nilai, norma,
hukum yang ada disekitarnya. Tak lama kemudian Max Weber membantahnya dengan
mengatakan bahwa realitas sosial bersifat subjektif dan tidak memaksa tindakan
sosial. Manusia juga adalah individu-individu yang bebas, rasional dan berdiri
sendiri.
Hari ini kita
melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang tak dapat dipisahkan dari pandangan
dan pendengaran kita sehari-hari, karena mau tidak mau kita telah masuk dalam
pengkategorian kedua pemikir di atas secara praksis.
Berangkat dari dua
teori di atas, manusia menciptakan berbagai aturan, menyepakati berbagai norma
dan hukum dengan tujuan untuk dipatuhi dan dijalankan bersama. Namun begitu
manusia juga adalah individu yang bebas, yang terkadang bertindak melampaui
fakta sosial yang ada disekitarnya.
Para penguasa kita kian
rakus, melampaui norma dan kearifan yang selama ini menjadi cirikhas bangsa
Indonesia.
Dari sebelum dan
sesudah di jadikannya demokrasi sebagai sistem pemerintahan, masyarakat
sesungguhnya telah memilih, menciptakan, mengadopsi dan kemudian menerapkan
sistem yang tidak terkategorikan, namun menjadi satu sistem yang dipakai secara
bersama-sama, tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakat, walaupun
ruang lingkupnya tidak sebesar negara. Anehnya system yang seyogianya
berkembang dimasyarakat tersebut justru cenderung efektif untuk mengekang dan
membatasi kekuasaan yang korup.
Namun begitu, tidak ada
keberhasilan yang didapat dari usaha yang singkat. Tidak ada perubahan yang
dihasilkan dari perjuangan yang sekejap mata. Perjalanan demokrasi kita boleh
saja melewati jalan berduri dan berbatu, namun tidak ada alasan untuk kita
berhenti memperjuangkannya.
Mujib
Makassar, 13 Okt. 2011
Makassar, 13 Okt. 2011
No comments:
Post a Comment