Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Thursday, October 13, 2011

Jalanan Berduri Demokrasi di Indonesia


Pasang surut perjalanan demokrasi di Indonesia menyisakan tanda tanya besar bagi kita. Seperti apakah demokrasi ditahun-tahun mendatang, saat anak dan cucu kita menggantikan hidup kita dalam hiruk pikuk ketidakpastian.
Perjalanan panjang demokrasi di Indonesia boleh dikata telah membawa banyak perubahan pola pikir dan tingkah laku para penguasa. Saat Soekarno memimpin negeri ini, Soekarno mencoba membangunnya dengan menanggalkan segala bentuk intervensi dari luar. Namun begitu pemerintahan diambil alih oleh Soeharto, donatur asing ramai-ramai memberikan bantuan yang tak lain adalah hutang kepada bangsa Indonesia.
Setelah rezim orde baru tumbang, ditandai dengan masuknya era reformasi, arah laju pembangunan di Indonesia kian membingungkan kita. Dengan nada miris, sesungguhnya masyarakat hendak bertanya, katanya hendak menuju demokrasi subtansial, menuju demokrasi yang memberikan kesejahteraan bagi semua, tapi yang terjadi justru banyak uang rakyat yang dimonopoli dan dikorupsi para penguasa.
Disisi lain penguasa kita kian tidak memihak rakyat. Hal tersebut tak lepas dari warisan rezim orde baru saat masih berkuasa. Bahkan boleh dikata, warisan tersebut layaknya hutang, telah mengekang segala bentuk kebijakan yang berorientasi kesejahteraan rakyat.
Terlebih lagi praktek-praktek orba juga tidak semuanya hilang, bahkan kian terasa ditunjukkan oleh para penguasa di negeri ini. Dengan ciri khasnya dan modelnya masing-masing, namun tetap saja belum mampu menunjukkan tujuan ideal dari reformasi yang telah menelan banyak korban.
Boleh dikata, bahwa reformasi yang diagung-agungkan sebagai bagian dari bentuk penggulingan praktek ketidak adilan hanya sesumbar actor yang belum mampu menatap perubahan riel. Reformasi terkesan jalan ditempat, karena tidak diiringi dengan konsep ideal untuk membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih baik.
Mau tidak mau kini kita telah berada dalam era reformasi, era keterbukaan, era kebebasan, atau yang akrab kita sebut sebagai era transparansi dan akuntabilitas. Segala macam layanan public dan aturan yang dibuat penguasa kini mutlak harus juga diketahui oleh public. Segala hal yang terkait dengan kebutuhan dan keluhan masyarakat ditingkat bawah dengan sangat mudah disuarakan dan dijamin kebebasannya untuk disampaikan.
Namun, akhir-akhir ini penguasa kita lagi-lagi menunjukkan ketidakmampuannya. Penguasa kita kini kebal terhadap kritikan dan masukan. Masukan dan kritikan yang diberikan dan disuarakan layaknya alunan lagu yang hanya untuk didengar dan bukan untuk direalisasikan dalam bentuk kebijakan.
Namun begitu, setiap penguasa memiliki karakter berbeda dalam menerima segala masukan dan kritikan. Bahkan akhir-akhir ini penguasa sengaja mengadu domba aparatusnya atau anak-anak asuhnya untuk mengkonfrontir masyarakat lainnya yang terkesan kritis dan focus pada pengembangan demokratisasi di dalam negeri.
Seabad yang lalu Durkheim mencetuskan teorinya tentang pembagian kerja. Dimana manusia menurut Durkheim cenderung mencari keteraturan (sosial order), sehingga manusia cenderung tidak bebas, dipengaruhi oleh fakta sosial, berupa nilai, norma, hukum yang ada disekitarnya. Tak lama kemudian Max Weber membantahnya dengan mengatakan bahwa realitas sosial bersifat subjektif dan tidak memaksa tindakan sosial. Manusia juga adalah individu-individu yang bebas, rasional dan berdiri sendiri.
Hari ini kita melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang tak dapat dipisahkan dari pandangan dan pendengaran kita sehari-hari, karena mau tidak mau kita telah masuk dalam pengkategorian kedua pemikir di atas secara praksis.
Berangkat dari dua teori di atas, manusia menciptakan berbagai aturan, menyepakati berbagai norma dan hukum dengan tujuan untuk dipatuhi dan dijalankan bersama. Namun begitu manusia juga adalah individu yang bebas, yang terkadang bertindak melampaui fakta sosial yang ada disekitarnya.
Para penguasa kita kian rakus, melampaui norma dan kearifan yang selama ini menjadi cirikhas bangsa Indonesia.
Dari sebelum dan sesudah di jadikannya demokrasi sebagai sistem pemerintahan, masyarakat sesungguhnya telah memilih, menciptakan, mengadopsi dan kemudian menerapkan sistem yang tidak terkategorikan, namun menjadi satu sistem yang dipakai secara bersama-sama, tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakat, walaupun ruang lingkupnya tidak sebesar negara. Anehnya system yang seyogianya berkembang dimasyarakat tersebut justru cenderung efektif untuk mengekang dan membatasi kekuasaan yang korup.
Namun begitu, tidak ada keberhasilan yang didapat dari usaha yang singkat. Tidak ada perubahan yang dihasilkan dari perjuangan yang sekejap mata. Perjalanan demokrasi kita boleh saja melewati jalan berduri dan berbatu, namun tidak ada alasan untuk kita berhenti memperjuangkannya. 

Mujib
Makassar, 13 Okt. 2011

No comments:

Post a Comment