Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Saturday, June 11, 2011

Sumber Daya Alam dan Bencana Industri


Sumber daya alam yang kaya ternyata bukan menjadi tolak ukur kemajuan suatu daerah. Sumber daya alam yang kaya justru menjadi awal dari bencana yang berkelanjutan dan mengancam kehidupan. Bukan hanya saat ini, namun jauh lebih sengsara anak cucu kita nantinya.
Sejak SD kita didorong dan dianjurkan untuk menjaga alam oleh guru-guru yang mengajarkan kita berbagai hal. Salah satu praktek yang sering disampaikan adalah tidak membuang sampah sembarangan, karena kalau tidak, orang bisa jatuh saat berjalan hanya karena kulit pisang. Dari situ kita juga dianjurkan untuk menanam tanaman dan merawatnya.
Membuang sampah sembarangan juga bisa menyebabkan terjadinya penyumbatan terhadap aliran air, yang kemudian menyebabkan terjadinya banjir. Menginjak sekolah menengah atau saat kita kuliah di sebuah perguruan tinggi, kita mengenal istilah penebangan hutan dan efek dari penebangan tersebut.
Saat kita keluar dari dunia tekstualitas dan bergelut dalam dunia realitas, kita mengenal industrialisasi sumber daya alam yang timpang. Efek dari industrialisasi tersebut bukan main hebatnya. Karena bukan hanya sampah yang dihasilkan, namun pencemaran lingkungan juga bisa terjadi. Akibatnya, bukan hanya banjir dan longsor namun menghasilkan bencana yang berkepanjangan.
Pengetahuan ini tak cukup untuk menjadikan kita sadar akan pentingnya sumber daya alam bagi kehidupan. Sumber daya alam justru menjadi komoditi yang dieksploitasi untuk memperkaya diri dan demi kepentingan pribadi maupun golongan semata.
Di satu sisi, keinginan untuk memajukan daerah terkadang justru mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Hal itulah yang terjadi di Pangkep. Masuknya investor di Pangkep tak lain karena kesempatan yang lebar yang diberikan oleh Pemerintah kepada para investor yang akan mengeksploitasi kekayaan alam Pangkep.
Lembaga pemerintahan yang bertugas untuk mengkaji pencemaran dan mengkaji boleh tidaknya pertambangan, dan lembaga yang bertugas memberikan izin tambang, sering kali kongkalikong dengan pengusaha atau penambang. Tak jarang lokasi yang seharusnya tidak dapat ditambangi justru diberikan izin tambang. Disatu sisi banyak perusahaan tambang yang tidak memiliki izin tambang, namun menghabisi kekayaan alam masyarakat Pangkep.
Terkadang pula, bukan hanya bahan tambang yang sudah diperjanjikan yang diambil oleh penambang, tanah dan segala unsur yang bisa diambil, tak luput dari kerakusan mereka. Di satu sisi, petugas dan investor saling mencari celah untuk mendapatkan keuntungan. Aturan yang dibuat untuk membatasi dan mengekang kebebasan investor menjadi objek yang juga diperjual belikan.
Sumber daya alam merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan, hanya menjadi hiasan bibir semata, tak lama kemudian hancur dan hanya menyisakan bencana. Sebagaimana yang mencuat dalam Talkshow Demokrasi di radio Torani FM Kab. Pangkep beberapa waktu yang lalu. Badan Lingkungan Hidup yang bertugas sebagai lembaga yang mengkaji investor atau pemodal yang masuk untuk menambang, sekaligus mengkaji dan meneliti lokasi yang akan ditambang, tidak begitu kuat untuk membatasi dan mengekang Industrialisasi sumber daya alam agar tidak menyengsarakan rakyat. Bagaimana tidak, uji materi telah dilakukan, survei lokasi telah dilakukan, namun kerusakan dan pencemaran lingkungan juga terus berjalan.
Alih-alih memberikan keuntungan bagi masyarakat Pangkep dalam mengurangi pengangguran, namun memberikan bencana yang berkepanjangan. Bagaimana tidak, kawasan karst yang seharusnya dilindungi justru menjadi area pertambangan. Gunung-gunung yang biasa kita sebut sebagai penyeimbang bumi, juga di tambang. Meminjam istilah Anggreani Amir (Sekretaris Komisi II DPRD Kab. Pangkep) yang memberikan input pada Talkshow I Sekolah Demokrasi Pangkep beberapa waktu yang lalu, “kalau kita menebang hutan masih bisa kita menanam pohon, tapi kalau kita menebang gunung, bisakah gunung kita tanam?”
Anggi sebagai masyarakat biasa, juga mengungkapkan kebingungannya terhadap pemerintahan yang berlangsung di Pangkep hari ini. Karena “bukankah terbentuknya suatu pemerintahan tak lain untuk mensejahterakan masyarakat, dalam hal ini masyarakat Pangkep, namun bagaimana mungkin hal tersebut terjadi kalau sumber daya alam yang menjadi satu-satunya kekayaan masyarakat Pangkep, justru habis di eksploitasi”?? tegasnya.
Hal senada juga mencuat dalam diskusi antara tokoh masyarakat desa Biringere dengan Peserta Sekolah Demokrasi Pangkep Angk.II dalam kunjungan desa Kamis, 5 Mei 2011. Menurut Sidda. Simpuang. Ago, ketua masyarakat adat Biringere, apa yang dilakukan Tonasa hari ini sebenarnya adalah salah satu bentuk penjajahan, Tonasa telah menghabisi gunung dan batunya masyarakat Pangkep, khususnya masyarakat Biringere. Beliau juga meminta pada peserta sekolah demokrasi yang konsen dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk bersama-sama menjadikan Pangkep lebih baik.
Biringere sendiri adalah desa yang masuk kawasan ring Satu. Artinya desa terdekat dari pertambangan, dalam hal ini Tonasa. Menurut kepala desa Biringere (Hasbullah, ST) “Kontribusi yang diberikan Tonasa kepada masyarakat Biringere memang ada, namun tidak cukup untuk mengganti penderitaan masyarakat Pangkep.” Bagaimana tidak, setelah gunung-gunung dan batu-batu yang ada di Biringere di tambang oleh Tonasa, namun masyarakat Biringere tetap mendapatkan pencemaran yang dihasilkan oleh Tonasa, terutama debu yang keluar dari cerobong perusahaan Tonasa.
Selain itu, dari sekian KK yang ada di Biringere, hanya 20 orang saja yang menjadi karyawan di Tonasa, selebihnya mereka berkebun dan menambang pasir. Saat dikonfirmasi oleh peserta soal kenapa menambang pasir, sedangkan Galian C yang ada di Biringere saat ini telah mencapai kedalaman 5-10 meter ke bawah. Menurut Kepala Desa Biringere, “hal tersebut tak bisa dibatasi, karena masyarakat kami yang tidak bekerja di Tonasa dan tidak memiliki kebun atau sawah, tentu kesulitan mencari pekerjaan. Sedangkan tugas kami sebagai pemerintah desa tak lain untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat kami. Galian C yang ada disini sebenarnya hanya beberapa, yang banyak justru dari desa tetangga (Taraweang)”, yang jelas tidak melebihi batas 1 hektar dengan menggunakan alat berat sebagaimana dilarang oleh UU. Sedangkan tenaga kerja yang dipekerjakan oleh Tonasa sebagian besarnya diambil dari luar Pangkep khususnya dari Jawa. Tegas kepala Desa Biringere.
Ini adalah bencana langsung yang dirasakan masyarakat khususnya Pangkep, dari industrialisasi yang tidak memperdulikan kelestarian dan kehidupan mahluk hidup di sekitarnya. Debu yang menempel di pohon-pohon dan atap-atap rumah masyarakat Biringere menjadi bukti riel akan hal itu. Namun, yang paling mengerikan adalah bencana tidak langsung yang kapan saja bisa terjadi. Karena kerusakan alam tentu saja menyisakan bencana.

No comments:

Post a Comment