Sumber daya alam yang kaya
ternyata bukan menjadi tolak ukur kemajuan suatu daerah. Sumber daya alam yang
kaya justru menjadi awal dari bencana yang berkelanjutan dan mengancam
kehidupan. Bukan hanya saat ini, namun jauh lebih sengsara anak cucu kita
nantinya.
Sejak SD kita didorong dan dianjurkan
untuk menjaga alam oleh guru-guru yang mengajarkan kita berbagai hal. Salah
satu praktek yang sering disampaikan adalah tidak membuang sampah sembarangan, karena
kalau tidak, orang bisa jatuh saat berjalan hanya karena kulit pisang. Dari
situ kita juga dianjurkan untuk menanam tanaman dan merawatnya.
Membuang sampah sembarangan juga bisa menyebabkan terjadinya penyumbatan terhadap aliran air, yang kemudian menyebabkan terjadinya banjir. Menginjak sekolah menengah atau saat kita kuliah di sebuah perguruan tinggi, kita mengenal istilah penebangan hutan dan efek dari penebangan tersebut.
Membuang sampah sembarangan juga bisa menyebabkan terjadinya penyumbatan terhadap aliran air, yang kemudian menyebabkan terjadinya banjir. Menginjak sekolah menengah atau saat kita kuliah di sebuah perguruan tinggi, kita mengenal istilah penebangan hutan dan efek dari penebangan tersebut.
Pengetahuan ini tak cukup untuk
menjadikan kita sadar akan pentingnya sumber daya alam bagi kehidupan. Sumber
daya alam justru menjadi komoditi yang dieksploitasi untuk memperkaya diri dan demi
kepentingan pribadi maupun golongan semata.
Di satu sisi, keinginan untuk
memajukan daerah terkadang justru mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Hal
itulah yang terjadi di Pangkep. Masuknya investor di Pangkep tak lain karena
kesempatan yang lebar yang diberikan oleh Pemerintah kepada para investor yang
akan mengeksploitasi kekayaan alam Pangkep.
Lembaga pemerintahan yang
bertugas untuk mengkaji pencemaran dan mengkaji boleh tidaknya pertambangan,
dan lembaga yang bertugas memberikan izin tambang, sering kali kongkalikong dengan pengusaha atau
penambang. Tak jarang lokasi yang seharusnya tidak dapat ditambangi justru diberikan
izin tambang. Disatu sisi banyak perusahaan tambang yang tidak memiliki izin
tambang, namun menghabisi kekayaan alam masyarakat Pangkep.
Terkadang pula, bukan hanya bahan
tambang yang sudah diperjanjikan yang diambil oleh penambang, tanah dan segala
unsur yang bisa diambil, tak luput dari kerakusan mereka. Di satu sisi, petugas
dan investor saling mencari celah untuk mendapatkan keuntungan. Aturan yang
dibuat untuk membatasi dan mengekang kebebasan investor menjadi objek yang juga
diperjual belikan.
Sumber daya alam merupakan salah
satu unsur penting dalam kehidupan, hanya menjadi hiasan bibir semata, tak lama
kemudian hancur dan hanya menyisakan bencana. Sebagaimana yang mencuat dalam Talkshow
Demokrasi di radio Torani FM Kab. Pangkep beberapa waktu yang lalu. Badan
Lingkungan Hidup yang bertugas sebagai lembaga yang mengkaji investor atau
pemodal yang masuk untuk menambang, sekaligus mengkaji dan meneliti lokasi yang
akan ditambang, tidak begitu kuat untuk membatasi dan mengekang Industrialisasi
sumber daya alam agar tidak menyengsarakan rakyat. Bagaimana tidak, uji materi
telah dilakukan, survei lokasi telah dilakukan, namun kerusakan dan pencemaran
lingkungan juga terus berjalan.
Alih-alih memberikan keuntungan
bagi masyarakat Pangkep dalam mengurangi pengangguran, namun memberikan bencana
yang berkepanjangan. Bagaimana tidak, kawasan karst yang seharusnya dilindungi
justru menjadi area pertambangan. Gunung-gunung yang biasa kita sebut sebagai
penyeimbang bumi, juga di tambang. Meminjam istilah Anggreani Amir (Sekretaris
Komisi II DPRD Kab. Pangkep) yang memberikan input pada Talkshow I Sekolah
Demokrasi Pangkep beberapa waktu yang lalu, “kalau kita menebang hutan masih
bisa kita menanam pohon, tapi kalau kita menebang gunung, bisakah gunung kita
tanam?”
Anggi sebagai masyarakat biasa, juga
mengungkapkan kebingungannya terhadap pemerintahan yang berlangsung di Pangkep
hari ini. Karena “bukankah terbentuknya suatu pemerintahan tak lain untuk
mensejahterakan masyarakat, dalam hal ini masyarakat Pangkep, namun bagaimana
mungkin hal tersebut terjadi kalau sumber daya alam yang menjadi satu-satunya
kekayaan masyarakat Pangkep, justru habis di eksploitasi”?? tegasnya.
Hal senada juga mencuat dalam
diskusi antara tokoh masyarakat desa Biringere dengan Peserta Sekolah Demokrasi
Pangkep Angk.II dalam kunjungan desa Kamis, 5 Mei 2011. Menurut Sidda.
Simpuang. Ago, ketua masyarakat adat Biringere, apa yang dilakukan Tonasa hari
ini sebenarnya adalah salah satu bentuk penjajahan, Tonasa telah menghabisi
gunung dan batunya masyarakat Pangkep, khususnya masyarakat Biringere. Beliau
juga meminta pada peserta sekolah demokrasi yang konsen dalam memperjuangkan
hak-hak masyarakat untuk bersama-sama menjadikan Pangkep lebih baik.
Biringere sendiri adalah desa
yang masuk kawasan ring Satu. Artinya desa terdekat dari pertambangan, dalam
hal ini Tonasa. Menurut kepala desa Biringere (Hasbullah, ST) “Kontribusi yang
diberikan Tonasa kepada masyarakat Biringere memang ada, namun tidak cukup
untuk mengganti penderitaan masyarakat Pangkep.” Bagaimana tidak, setelah
gunung-gunung dan batu-batu yang ada di Biringere di tambang oleh Tonasa, namun
masyarakat Biringere tetap mendapatkan pencemaran yang dihasilkan oleh Tonasa,
terutama debu yang keluar dari cerobong perusahaan Tonasa.
Selain itu, dari sekian KK yang
ada di Biringere, hanya 20 orang saja yang menjadi karyawan di Tonasa,
selebihnya mereka berkebun dan menambang pasir. Saat dikonfirmasi oleh peserta
soal kenapa menambang pasir, sedangkan Galian
C yang ada di Biringere saat ini telah mencapai kedalaman 5-10 meter ke
bawah. Menurut Kepala Desa Biringere, “hal tersebut tak bisa dibatasi, karena
masyarakat kami yang tidak bekerja di Tonasa dan tidak memiliki kebun atau
sawah, tentu kesulitan mencari pekerjaan. Sedangkan tugas kami sebagai
pemerintah desa tak lain untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat kami. Galian
C yang ada disini sebenarnya hanya beberapa, yang banyak justru dari desa
tetangga (Taraweang)”, yang jelas tidak melebihi batas 1 hektar dengan
menggunakan alat berat sebagaimana dilarang oleh UU. Sedangkan tenaga kerja
yang dipekerjakan oleh Tonasa sebagian besarnya diambil dari luar Pangkep
khususnya dari Jawa. Tegas kepala Desa Biringere.
Ini adalah bencana langsung yang
dirasakan masyarakat khususnya Pangkep, dari industrialisasi yang tidak
memperdulikan kelestarian dan kehidupan mahluk hidup di sekitarnya. Debu yang
menempel di pohon-pohon dan atap-atap rumah masyarakat Biringere menjadi bukti
riel akan hal itu. Namun, yang paling mengerikan adalah bencana tidak langsung
yang kapan saja bisa terjadi. Karena kerusakan alam tentu saja menyisakan
bencana.
No comments:
Post a Comment