Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Thursday, July 31, 2014

MEREFLEKSI MEDIA DAN LEMBAGA SURVEI


   Media merupakan satu dari pilar demokrasi. Media berpihak pada kebenaran bukan pada pribadi maupun kelompok tertentu. Media mengabarkan fakta yang berimbang bukan berita opini yang menyesatkan. Begitupun lembaga survei, keberadaan lembaga survei sangat potensial untuk menciptakan pemilu bersih, jujur dan adil. Namun begitu, media dan lembaga survei sama-sama potensial untuk mempermainkan maind side masyarakat dan menciptakan konflik. Itu juga yang kita rasakan di detik-detik rangkaian pilpres 2014.
   Saya teringat kritikan Direktur LAPAR Sulsel beberapa waktu yang lalu, bahwa politisi kita lebih percaya lembaga survei dibanding Tuhan. Hal itu dapat kita lihat dengan kasat mata hari ini. Bagaimana seorang calon tidak lagi menunggu hasil rekapitulasi suara dari KPU, namun berpatokan dari hitung cepat lembaga survei yang ada. Tak ayal, masing-masing calon memproklamirkan diri sebagai pemenang pemilu. Seolah tidak ada persoalan dengan kebingungan masyarakat menyikapi hasil pemilu, uforia kemenangan pun sudah dilakukan masing-masing calon sebelum KPU mengumumkan siapa pemenang pemilu. Lagi-lagi, sebagian mediapun bermain, mempermainkan ketidakfahaman masyarakat dengan menampilkan data-data yang tidak diklarifikasi kebenarannya.
  Lembaga survei maupun media sangat potensial untuk mendorong pemilu yang bersih, jujur dan adil. Dengan catatan independensi lembaga survei dan media tersebut harus tetap dijunjung tinggi. Lembaga survei dan media potensial untuk membantu calon atau kelompok yang ingin mengetahui eletabilitas maupun popularitas mereka sebelum bertarung pada pemilu sehingga dapat memaksimalkan persiapan yang mereka miliki. Bahkan, lembaga survey dan media pun potensial untuk turut serta mendorong pendidikan politik di masyarakat.
   Namun, tidak sedikit lembaga survei dan media yang dimiliki dan dibiayai oleh kelompok yang masuk diarena pertarungan. Sehingga menjadikan lembaga survei maupun media tersebut rentan digunakan untuk mengangkat dan menjatuhkan kelompok lain. Sehingga keberadaan mereka potensial untuk memecah belah pemahaman masyarakat dari kebenaran informasi yang seharusnya diterima. Hal ini dapat kita lihat dari perbedaan hasil quick count beberapa lembaga survei di pilpres 2014. Masyarakat kebingungan dengan kesimpang siuran data dari beberapa lembaga survei yang masing-masing memenangkan dua kandidat yang bertarung.   Mirisnya, masing-masing lembaga survei mempertahankan diri, bahwa data yang mereka miliki benar adanya. Ditunjang dengan pemberitaan media yang tidak berimbang dan berorientasi menjatuhkan atau menyalahkan data yang dimiliki lembaga survei yang lain. Seolah hendak mengatakan, bahwa masyarakat tidak mengetahui kebenaran data, maka mempermainkan maind side masyarakat adalah hal yang penting untuk dilakukan.
   Semoga ketakutan saya tidak benar, bahwa tujuan besar dari itu semua adalah mempolarisasi pemikiran masyarakat. Ketika pemikiran masyarakat sudah terpolarisasi, bahwa kandidatnya, atau yang mereka pilih di TPS lah yang menjadi pemenang, hal tersebut akan menjadi senjata ampuh untuk menggiringnya ke jenjang atau tindakan yang lebih tinggi. Misalnya, bukan tidak mungkin ketika calon yang dipilihnya di TPS, ditunjang dengan beberapa lembaga survei yang memenangkan, didukung dengan data atau pemberitaan akan sesatnya lembaga survei yang lain, maka ketika KPU mengumumkan hasil perhitungannya, dan ternyata faktanya berbanding terbalik dengan apa yang diyakini, maka bukan tidak mungkin gerakannya tidak lagi pada gerakan penggiringan opini public, namun pada tindakan-tindakan anarkisme dan lain-lain.
   Tanpa menafikkan keberadaan lembaga survei dan media yang setia menjunjung tinggi independensi, lembaga survei dan media yang setia menjunjung tinggi kebenaran, lembaga survei dan media yang berorientasi mewujudkan pemilu yang bersih, jujur dan adil. Namun keberadaan lembaga survei dan media yang bermain dibalik “ketiak calon” atau kelompok tertentu, dan berorientasi memecah belah persatuan, maka perlu kiranya ada sanksi tegas. Sanksi itu bisa saja dilakukan oleh lembaga pengawas maupun organisasi payung dari lembaga-lembaga survey yang ada di tanah air, atau bisa juga langsung dari masyarakat. Masyarakat bisa menghukum mereka dengan tidak lagi mempercayai berita dan data yang disuguhkan oleh media dan lembaga survey yang terbukti memberikan data yang tidak akurat tersebut.
   Penting kiranya meletakkan pilpres 2014 ini sebagai pijakan menuju pemilu yang lebih bermartabat ke depan. Disamping banyak lembaga survei yang tidak memihak pada kebenaran, hal tersebut ditunjang dengan media yang memiliki peran tidak jauh berbeda, yaitu berorientasi mengangkat calon tertentu dan menjatuhkan calon yang lain.
   Untuk itu penting kiranya mereaktualisasi pemikiran kita terhadap demokrasi. Kebebasan bukan berarti tanpa kontrol, kebebasan untuk mendapatkan informasi dan membentuk perusahaan media bukan berarti media bisa begitu saja menanggalkan kebenaran demi calon yang telah membiayainya. Begitupun lembaga survei, kebebasan untuk membentuk lembaga survei bukan berarti menghalalkan tindakan-tindakan dan upaya untuk memecah belah persatuan. 

No comments:

Post a Comment