Daftar Berita/Artikel Diterbitkan

Thursday, November 7, 2013

Politik Uang dan Rancunya Aturan Pilkades


Tulisan ini juga dimuat di Harian Pagi Fajar, 7/11/2013


Bisa dikatakan, dinamika demokrasi masih terjebak lubang hitam, perilaku yang mencederai nilai-nilai demokrasi seperti money politik dan korupsi masih terus menggerus keindonesiaan kita. Seolah bangsa ini bangsa “lalim”; seorang teman tega memakan temannya sendiri, seorang sahabat tega memakan sahabatnya sendiri. Sesuatu yang seharusnya menjadi hak orang lain pun di “embat” atas nama demokrasi.
Demokrasi masih ideal ditataran ide, namun dalam prakteknya banyak orang yang memilih mengingkari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku demi meraih jabatan atau keuntungan ekonomi. Kesejahteraan yang diidamkan-idamkan rakyat secara umum terasa masih jauh panggang dari api. Perjalanan untuk sampai tujuan tersebut bisa dikatakan masih sangatlah terjal.
Fakta hari ini seolah mengabarkan pada kita, bahwa semakin cerdas dan faham seseorang terhadap sistem yang berlaku maka semakin canggih pula model pengingkaran terhadap norma dan nilai-nilai tersebut.
Mirisnya, hal tersebut bukan saja terjadi ditingkat pusat, propinsi atau kabupaten, namun juga merambah ditingkat desa. Desa yang selama ini kita kenal sebagai praktek pemerintahan tingkat paling bawah dari sistem pemerintahan yang kita anut, money politik pun sepertinya sulit dihindari, khususnya pada momen pemilihan kepala desa (selanjutnya baca pilkades).
Disalah satu desa di Kabupaten Pangkep misalnya, seorang calon rela mengeluarkan uang hingga 250 juta hanya untuk duduk sebagai kepala desa. Lalu disebut apakah uang itu? Cost politik atau money politik? Lalu kemana masyarakat mengadu ketika mendapati permainan kotor dalam tahapan pilkades tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul mengingat masih rancunya peraturan terkait pilkades.
Orang Dekat
Pilkades secara umum dikenal sebagai sistem pemilihan langsung tingkat paling bawah di Indonesia. Namun, sebagaimana hasil kajian Kementerian Hukum dan HAM tahun 2011 silam, cikal bakal demokrasi langsung itu (pilkades) justru terkesan statis dan tradisional. Tidak ada kemajuan berarti dari penyelenggaraan pilkades dari sisi demokrasi dan kepastian hukum. Nampaknya hasil kajian tersebut masih selaras dengan kondisi yang berlangsung hari ini.
Dasar hukum Pilkades tak lain adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Di kedua aturan teresbut dijelaskan bahwa pilkades diatur lebih lanjut dengan perda. Namun dalam prakteknya, perda-perda khususnya terkait pilkades rawan dimainkan, sehingga mekanisme pilkades jarang sekali diketahui secara utuh oleh masyarakat di tingkat desa, apalagi mekanisme pengawasan dan penyelesaian sengketa pilkades. Akibatnya, jika terjadi pelangaran-pelanggaran dalam pilkades, penyelesaiannya cenderung menyisakan konflik.
Pilkades secara substansial tidak jauh berbeda dengan pilkada, pileg dan juga pilpres, namun persoalan yang melingkupi pilkades terletak pada pembentukan panitia pelaksana pilkades dan pengawasan pilkades. Banyak permainan kotor yang dilakukan oleh calon pada tahapan pilkades, namun tak jelasnya mekanisme pelaporan dan tindak lanjutnya, sehingga tak jarang persoalan-persoalan itu hilang seiring berakhirnya pemungutan suara. Disatu sisi pengawas pilkades pun terkesan tak bekerja, disamping karena kurangnya sumber daya, mereka kesulitan untuk mencakup seluruh desa dalam satu kecamatan yang melakukan pilkades secara bersamaan. Berkaca pada Perda No. 4 tahun 2007 tentang tata cara pencalonan, pemilihan, pengangkatan, pelantikan dan pemberhentian kepala desa di Kabupaten Pangkep, jumlah pengawas dalam satu kecamatan berjumlah lima orang. Pengawas tersebut dibentuk oleh kecamatan bersangkutan.
Disisi lain tidak ada jaminan bahwa panitia pilkades menjalankan tugasnya dengan netral. Salah satu indikatornya adalah mereka yang maju sebagai calon kepala desa tak lain adalah orang dekat panitia pelaksana, bahkan mungkin juga keluarga. Hal ini juga mencuat pada diskusi “Refleksi Pilkades” yang digelar beberapa aktivis LSM di Pangkep, Rabu, 30/11/2013. Beberapa rekomendasi yang lahir dari diskusi tersebut antara lain adalah melakukan revisi terhadap perda tentang pelaksanaan pilkades yang ada di Pangkep. Dengan pertimbangan utama adalah kurang terakomodirnya kebutuhan rakyat di dalam perda. Selanjutnya kurang terjaminnya netralitas panitia pelaksana pilkades, dan tidak otimalnya pengawasan dalam pilkades.
Koflik Pilkades
Pada pasal 47 sampai 52, PP No.72 Tahun 2005 disebutkan bahwa, BPD membentuk Panitia Pemilihan yang terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat. Panitia pemilihan tersebut adalah orang yang akan menjalankan tugas selama tahapan pilkades. Berbeda dengan pilkada, pileg dan pilpres, panitia pemilihan dibentuk oleh KPU, yang secara struktural dapat lebih netral dari pengaruh kekuasaan. Disisi lain, terpusatnya tempat pemungutan suara (TPS) akan menyebabkan terpusatnya massa dan sangat berpotensi konflik batin dan fisik, serta mengganggu psikogis pemilih. TPS yang biasanya disatukan di area kantor desa tersebut juga akan membuka peluang permainan kotor dari calon. Pemilih akan merasa berhutang budi kepada calon tertentu yang membiayai transportasi mereka ke TPS.
Konflik pilkades memang bisa timbul darimana saja, misalnya fanatisme berlebihan pada salah satu calon, ketersinggungan antar pendukung atau calon, dan seterusnya. Namun konflik yang timbul karena mekanisme pemlihan harusnya dapat dicegah. Oleh karena itu diperlukan peraturan yang mencakup semua kebutuhan pilkades. Salah satunya adalah mempertegas pengawasan dan tindak lanjut dari temuan-temuan yang ada dalam pilkades.

No comments:

Post a Comment